Langsung ke konten utama

Teman Kecilku



Angin memang tak berwujud,
Tapi dapat dirasakan,
Dapat dinikmati oleh semua makhluk yang ada didunia,
Sama seperti cinta, hanya dapat dirasakan.
Ku biarkan hidup seperti air,
Mengalir dan menerjang semua rintangan walau sebesar batu yang keras.
Di pantai ini,
Ku habiskan hariku.
Sampah yang tertata rapih pada tempatnya, ombak yang menggelombang, dan matahari yang setia menemaniku ikut hadir hari ini.
Aku suka pantai. Bahkan aku lebih suka berdiam diri disini dibanding di tempat lain.
Dulu, aku bersama rian ditempat ini.
Tapi karena dia melanjutkan kuliahnya diluar negeri, maka kini tinggal ku sendiri.
Sepi, tanpa siapapun.
Pantai memang sesekali ramai. Tapi menurutku tak pernah ramai.
"Kak, ini ada balon buat kakak," Kata anak kecil menghampiriku dan memberiku seikat balon warna warni. Belum sempat ku tanya siapa pengirimnya, ia sudah pergi.
"Pasir pantai ini masih sama seperti dulu, halus." Gumamku dalam hati.
Hari sudah sore, ku beranjak pergi dari pantai.
Karena rumahku berjarak tak jauh dari pantai. Jadi, aku hanya menaiki sepeda.
Ku ikat balon itu di dalam kamar. Bunga yang ku dapat tadi pagi juga ku taruh di meja belajar.
Mungkin, kini aku memiliki penggemar rahasia. Yang selalu memberiku barang - barang tapi tanpa identitas.
"Apa masa kecilmu kurang bahagia?," tanya kakak ku dan memasuki kamarku.
"Ku rasa, masa kecilmu indah. Rian selalu menemanimu, papa mama juga memanjakanmu." Sambungnya sambil memegang balon ku,
"Entah kak, hari ini aku mendapat dua hadiah ditempat yang berbeda namun dengan gerak gerik yang sama," Jawabku santai.
Aku dan kak fia memang dekat. Kita saling berbagi cerita setiap hari. Ia menggantikan posisi rian. Saat rian tak ada lagi.
Malam, bintang, bulan.
Mungkin ketiganya dapat diibaratkan sebagai kak fio, rian dan aku.
Tapi kini,  malam yang dingin dan bintang hanya ada 1 itu pun tak begitu terang karena bulan pun hanya samar.
Ku buka gadget. Ku kirimi pesan elektronik pada rian.
"Bagaimana kabarmu?,"
Setelah satu jam, tak ada balasan apapun dari rian. Aku hanya bisa berhusnudzon, mungkin rian sibuk? Hingga ia tak dapat membalas pesanku.
*grek*
Suara itu muncul dibelakang jendela kamarku.
Mataku tertuju pada bayangan dibelakang kaca itu, jantungku berdegup kencang. Bukan takut karena maling ataupun setan.
"Siapa?," Teriakku pada bayangan itu.
Namun tak ada jawaban, dan saat ku buka jendela itupun tak ada siapapun. Hanya ada surat yang ia tinggalkan.
"Hi teman kecilku! Apa kabar? Apa kau merindukan ku? Haha pasti kau penasaran kan, siapa yang menjadi penggemar rahasia mu sehari ini? Sebenarnya aku sangat merindukan mu, dan aku ingin bermain denganmu. Tapi, sayang sekali jika aku tak mengerjaimu dulu! Hey, jika kau sudah membaca suratku, kau temui aku dipantai ya! Aku tunggu sampai kau datang! Awas kalau kau tak menemui ku!"
Secepat mungkin ku berlari menuju pantai.
Ku tinggalkan kamarku yang berantakan, berserakan buku diatas kasur dan laptop yang masih menyala.
Ku berlari dan tak ingin membuatnya menunggu.
Rian. Aku yakin. Itu pasti rian.
Hatiku yakin, aku merindukan rian. Aku sangat merindukan dia. Aku tak mau ditinggal lagi oleh orang yang aku sayang.
Nafasku yang bergemuruh, kakiku yang begitu lelah melangkah menemui seseorang dipantai itu.
"Rian?," Ucapku saat aku sampai ditempat itu.
Ia menoleh ke arahku, memberikan aku senyuman yang telah lama tak ku lihat. Memberikan aku balasan atas kerinduanku, membuat hatiku tak menyangka bahwa pesan elektronikku dibalas dengan senyuman.
"Hey ken!," Jawabnya tersenyum lebih manis.
"Kabarku baik, aku merindukanmu," Sambungnya memulai reuni dihadapan pantai.
Kita mengobrol jauh, canda tawa mulai tercipta. Suara gemuruh angin dan ombak menyatu dengan teriakan ku dan rian.
Selama ini, tak pernah ada yang seperti rian. Bahkan, teman - temanku yang lain tak mampu membuat dunia ini hidup.
"Aku antar kau pulang," Pintanya tepat pukul 00.00 .
Terimakasih ya Allah, terimakasih kau t'lah mengembalikan lagi semangat ku. Ia masih sama seperti dulu, masih sama seperti rian yang dulu.
Saat ia merengek mainannya ku rusak. Saat ia melambaikan tangan dibandara, saat ia membuatku menangis, dan tersenyum bahagia seperti saat ini.
Memory itu terulang. Semua terputar kembali. Aku seperti masuk kedalam mesin waktu dan terdampar pada momen yang memang ku inginkan.
Keesokan harinya, sepulang kuliah aku pergi bersama rian.
Kita keliling menaiki sepeda. Sama seperti aku dan rian saat SMA.
Kenangan itu begitu indah. Tak mampu ku buang meski sudah lampau.
"Bagaimana kulilah mu?," Tanyaku saat kita sampai ditaman kota.
Tapi rian hanya terdiam. Seperti tak suka dengan pertanyaanku.
"Rian?,"
"Sebenarnya ada yang aku ingin ceritakan padamu ken, aku sudah sarjana sekarang. Aku menjadi dokter. Dan aku sudah bertunangan dengan wanita yang ku cinta." Jelasnya membuatku terkejut. Mataku terbelalak dibuatnya. Kedipan demi kedipan ku coba untuk menahan air mata yang sudah memaksa ingin menetes. Seharusnya, aku bahagia. Karena teman kecilku sudah mendapatkan tambatan hati. Tapi aku malah sedih. Aku kecewa. Seakan aku jatuh dari awan yang telah robek tiba - tiba.
"Oh, selamat ya!," Ku coba melukis senyum diwajah. Meski hatiku terluka.
Kemarin, kamarku penuh tawa. Bahagia. Dan kini, kamarku penuh tangisan. Foto kenangan ku bersama rian berceceran dilantai bersama tissue yang basah dengan air mata.
Mataku terpejam diatas kasur yang sedikit basah. Ku hiraukan semua pesan dari rian, ketukan pintu dari kak fio, lemparan surat dari rian.
Aku tak butuh penjelasan. Aku tak mau menyakiti hatiku sendiri. Ku lupakan rian. Ku coba untuk menganggapnya hanya teman kecil ku, sama seperti rian, yang hanya menganggapku teman masa kecil.
Ia pulang hanya untuk memberi kabar yang bagiku buruk. Melukai ku. Walau itu kabar baik untuknya.
Pantai ini, pantai ini menjadi saksi.
Saksi ketika ku bahagia. Ketika ku jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Saksi ketika ku patah hati. Sedih.
Pantai ini dingin, seakan ia merasakan apa yang ku rasakan. Ku rebahkan tubuh ini di atas pasir pantai, dibawah terik mentari yang tak begitu menyengat. Mata yang terpejam, tetap mengeluarkan air dan membasahi wajahku lagi. Untuk kesekian kalinya.
"Periang, heboh, selalu mempunyai akal untuk membujukku agar aku tak menyerah menghadapi hidup. Bernama kenya. Tapi, orang yang bernama kenya itu sendiri sekarang malah rapuh dan tak mau bangkit," Ucap seseorang membangunkanku.
Jery. Teman sekampus ku. Orang yang pernah putus asa karena keluarganya berantakan. Ayahnya menikah lagi saat ekonomi mereka sedang naik daun. Hampir keluar dari kampus karena keputus asaannya.
"Tikus? Apa maksud mu?," Tanyaku sambil menghapus air mata.
Aku sering memanggilnya tikus. Karena namanya sama seperti tokoh tikus didalam film kesukaan kak fio. "Tom And Jery".
Selama satu jam. Mungkin ceritaku sudah seperti buku. Saking banyaknya ceritaku yang aku ceritakan pada jery.
"Hey ken!," Ditengah pembicaraanku bersama jery, rian datang menggandeng perempuan cantik.
"Ken! Kemarin aku mencarimu! Kau kemana? Kau sakit? Aku hampir lelah bolak balik ke rumahmu, tapi tak pernah berhasil menemui mu. Surat -  surat yang ku lempar juga tak kau ambil." Paparnya didepan jery dan perempuan itu.
"Aku tak apa. Mau apa kau? Ini siapa?," Tanyaku ketus.
Ia menjelaskan semuanya. Dari awal ia bertemu chery. Tunangannya yang sekarang ada di hadapanku. Membuat mataku perih. Hatiku luka. Dan rian, seperti lelaki polos tak berdosa. Memintaku untuk menjadi photographer diacara pernikahannya minggu depan. Entah aku akan menjawab apa. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.
"Loh ken, minggu depan itu bukannya kamu berangkat ke Arab? Kita kan satu pesawat nanti!," Ucap jery, mengingatkanku bahwa aku memang ada acara pada hari itu. Aku akan berangkat umroh bersama keluargaku, dan keluarga jery juga. "Iya, maaf ya rian. Mungkin, lain kali saja aku menjadi photographer diacaramu. Maafkan aku," Jawabku pada rian dan segera pergi dari pantai. Jery mengikutiku dengan santai.
"Mau kemana kau? Mengapa kau meninggalkan ku?," Tanyanya.
"Pulang. Aku tak mengajakmu ke pantai. Jadi, aku pulang juga tak usah mengajakmu kan?,"
"Ken, apa susahnya kau untuk melupakan rian?,"
Kepalaku tersentak dan menoleh ke arah jery. Dengan mimik bingung, kaget. Aku pergi tanpa menghiraukannya.
Malam ini, adalah malam yang sendu. Besok adalah hari keberangkatan ku, dan hari pernikahan rian.
Aku hanya mampu berdo'a, agar rian bahagia dengan perempuan yang memang pilihannya.
"Rian, maaf jika aku lancang menulus surat ini. Mungkin, aku egois. Aku tak memikirkan perasaan calon isteri mu. Tapi jujur, aku mencintaimu. Aku terluka, saat hari itu kau mengatakan bahwa kau sudah memiliki tunangan. Rian, aku janji, aku tak akan mengganggu mu. Aku mengatakan seperti ini, aku hanya mau kau tahu. Apa yang ku rasakan. Aku menunggumu pulang, aku setia menantimu. Tapi Allah tak mengizinkanku untuk memiliki mu lebih. Aku berangkat Umroh bersama kak fio juga, maaf aku tak bisa hadir diacara pernikahanmu. Selamat membina hidup baru. Semoga kau dapat menjadi imam yang baik untuk isteri dan anak mu kelak. Salam. Kenya"
Ku lemparkan surat itu pada jendela rumah rian. Derai air mata menghantarku juga. Hatiku semakin sakit. Entah kenapa, kenya yang tegar berubah secepat kilat menjadi kenya yang rapuh hanya karena cintanya lebih memilih cinta yang lain, yang mungkin lebih baik.
Pagi harinya, aku sudah siap dengan pakaian dan koperku.
Mama, papa, kak fio, jery dan keluarganya sangat bahagia. Bersemamgat. Tapi aku?
Aku masih seperti ini, rasanya kakiku sangat berat ku langkahkan. Seakan memberi isyarat padaku, seolah tak mau menginjakkan kaki untuk menaiki pesawat ini.
Perasaan ku semakin tak karuan saat aku didalam pesawat.
"jer, aku takut." Ucapku pada jery, ketika pesawat yang ku tumpangi perlahan meluncur.
"Kau baru pertama naik pesawat. Mungkin kau hanya ...."
Belum selesai jery menjawab, pesawat ini sudah terbang. Namun, dengan tak biasa. Pesawat ini seperti pesawat kertas yang dimainkan anak kecil, berkelok - kelok diatas langit. Ramai dengan teriakan ku, teriakan para penumpang lain.
Tak sampai 5 menit, pesawat ku sudah jatuh di air,
Ku tenggelam, dengan tangan yang masih menggenggam erat tangan jery.
Begitupun kak fio, yang masih menggenggam erat tanganku.
Ketika ku membuka mata, aku sudah berada dirumah sakit.
Disebuah ruangan yang berisi keluarga ku dan keluarga jery.
Namun, semuanya berkumpul menatapku. Seakan takut ku tak kembali.
Tangan jery. Tangan ini masih menggenggamku. Begitu erat. Begitu penuh rasa.
Ku tatap semua orang yang ada disini, tapi mataku tak menemukan rian. Bahkan, suratku tak ia balas.
Ya Allah,
Ternyata, aku memang bukan untuk rian. Semoga rian bahagia bersama orang lain. Dan aku bahagia dengan duniaku sendiri.


(DSM)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seharusnya Tidak Seperti Ini

Aku tidak berbohong, Ketika aku mengatakan tertarik padamu. Aku tidak menyangkal, Bahwa aku memikirkanmu. Tapi setelah terpikirkan kembali, Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Hati dapat terbolak balik. Ketika matahari terbenam, Rinduku tidak ikut membenamkan diri. Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Rasa ini terkadang berubah. Aku tidak lari. Aku tidak bersembunyi. Tapi apa yang terjadi? Saat Allah berkata jangan, Aku takkan melakukan. Aku berjaga. Aku turut diam. Bahkan ketika kamu menjauhkan diri, Meski rinduku menusuk hati, Aku tidak menuntutmu untuk berbalik. Aku tidak menyerah. Aku hanya pasrah karena Allah. Karena Allah tahu. Karena Allah sudah putuskan. Seharusnya tidak seperti ini. Dari awal angin berhembus menerbangkan dedaunan kering itu, Seharusnya aku tahu, Hatiku milikNya. Dan aku tidak pergi kearah kemana hatiku tidak mengarahkannya. Kini, tinggalah hatiku sendiri. Dan kamu, juga telah tertutup embun