Tapi dapat dirasakan,
Dapat dinikmati oleh semua makhluk
yang ada didunia,
Sama seperti cinta, hanya dapat
dirasakan.
Ku biarkan hidup seperti air,
Mengalir dan menerjang semua
rintangan walau sebesar batu yang keras.
Di pantai ini,
Ku habiskan hariku.
Sampah yang tertata rapih pada
tempatnya, ombak yang menggelombang, dan matahari yang setia menemaniku ikut
hadir hari ini.
Aku suka pantai. Bahkan aku lebih
suka berdiam diri disini dibanding di tempat lain.
Dulu, aku bersama rian ditempat ini.
Tapi karena dia melanjutkan kuliahnya
diluar negeri, maka kini tinggal ku sendiri.
Sepi, tanpa siapapun.
Pantai memang sesekali ramai. Tapi
menurutku tak pernah ramai.
"Kak, ini ada balon buat
kakak," Kata anak kecil menghampiriku dan memberiku seikat balon warna
warni. Belum sempat ku tanya siapa pengirimnya, ia sudah pergi.
"Pasir pantai ini masih sama
seperti dulu, halus." Gumamku dalam hati.
Hari sudah sore, ku beranjak pergi
dari pantai.
Karena rumahku berjarak tak jauh dari
pantai. Jadi, aku hanya menaiki sepeda.
Ku ikat balon itu di dalam kamar.
Bunga yang ku dapat tadi pagi juga ku taruh di meja belajar.
Mungkin, kini aku memiliki penggemar
rahasia. Yang selalu memberiku barang - barang tapi tanpa identitas.
"Apa masa kecilmu kurang
bahagia?," tanya kakak ku dan memasuki kamarku.
"Ku rasa, masa kecilmu indah.
Rian selalu menemanimu, papa mama juga memanjakanmu." Sambungnya sambil
memegang balon ku,
"Entah kak, hari ini aku
mendapat dua hadiah ditempat yang berbeda namun dengan gerak gerik yang
sama," Jawabku santai.
Aku dan kak fia memang dekat. Kita
saling berbagi cerita setiap hari. Ia menggantikan posisi rian. Saat rian tak
ada lagi.
Malam, bintang, bulan.
Mungkin ketiganya dapat diibaratkan
sebagai kak fio, rian dan aku.
Tapi kini, malam yang dingin dan bintang hanya ada 1 itu
pun tak begitu terang karena bulan pun hanya samar.
Ku buka gadget. Ku kirimi pesan
elektronik pada rian.
"Bagaimana kabarmu?,"
Setelah satu jam, tak ada balasan
apapun dari rian. Aku hanya bisa berhusnudzon, mungkin rian sibuk? Hingga ia
tak dapat membalas pesanku.
*grek*
Suara itu muncul dibelakang jendela
kamarku.
Mataku tertuju pada bayangan
dibelakang kaca itu, jantungku berdegup kencang. Bukan takut karena maling
ataupun setan.
"Siapa?," Teriakku pada
bayangan itu.
Namun tak ada jawaban, dan saat ku
buka jendela itupun tak ada siapapun. Hanya ada surat yang ia tinggalkan.
"Hi teman kecilku! Apa
kabar? Apa kau merindukan ku? Haha pasti kau penasaran kan, siapa yang menjadi
penggemar rahasia mu sehari ini? Sebenarnya aku sangat merindukan mu, dan aku
ingin bermain denganmu. Tapi, sayang sekali jika aku tak mengerjaimu dulu! Hey,
jika kau sudah membaca suratku, kau temui aku dipantai ya! Aku tunggu sampai
kau datang! Awas kalau kau tak menemui ku!"
Secepat mungkin ku berlari menuju
pantai.
Ku tinggalkan kamarku yang
berantakan, berserakan buku diatas kasur dan laptop yang masih menyala.
Ku berlari dan tak ingin membuatnya
menunggu.
Rian. Aku yakin. Itu pasti rian.
Hatiku yakin, aku merindukan rian.
Aku sangat merindukan dia. Aku tak mau ditinggal lagi oleh orang yang aku
sayang.
Nafasku yang bergemuruh, kakiku yang
begitu lelah melangkah menemui seseorang dipantai itu.
"Rian?," Ucapku saat aku
sampai ditempat itu.
Ia menoleh ke arahku, memberikan aku
senyuman yang telah lama tak ku lihat. Memberikan aku balasan atas kerinduanku,
membuat hatiku tak menyangka bahwa pesan elektronikku dibalas dengan senyuman.
"Hey ken!," Jawabnya
tersenyum lebih manis.
"Kabarku baik, aku
merindukanmu," Sambungnya memulai reuni dihadapan pantai.
Kita mengobrol jauh, canda tawa mulai
tercipta. Suara gemuruh angin dan ombak menyatu dengan teriakan ku dan rian.
Selama ini, tak pernah ada yang
seperti rian. Bahkan, teman - temanku yang lain tak mampu membuat dunia ini
hidup.
"Aku antar kau pulang,"
Pintanya tepat pukul 00.00 .
Terimakasih ya Allah, terimakasih kau
t'lah mengembalikan lagi semangat ku. Ia masih sama seperti dulu, masih sama
seperti rian yang dulu.
Saat ia merengek mainannya ku rusak.
Saat ia melambaikan tangan dibandara, saat ia membuatku menangis, dan tersenyum
bahagia seperti saat ini.
Memory itu terulang. Semua terputar
kembali. Aku seperti masuk kedalam mesin waktu dan terdampar pada momen yang
memang ku inginkan.
Keesokan harinya, sepulang kuliah aku
pergi bersama rian.
Kita keliling menaiki sepeda. Sama
seperti aku dan rian saat SMA.
Kenangan itu begitu indah. Tak mampu
ku buang meski sudah lampau.
"Bagaimana kulilah mu?,"
Tanyaku saat kita sampai ditaman kota.
Tapi rian hanya terdiam. Seperti tak
suka dengan pertanyaanku.
"Rian?,"
"Sebenarnya ada yang aku ingin
ceritakan padamu ken, aku sudah sarjana sekarang. Aku menjadi dokter. Dan aku
sudah bertunangan dengan wanita yang ku cinta." Jelasnya membuatku
terkejut. Mataku terbelalak dibuatnya. Kedipan demi kedipan ku coba untuk
menahan air mata yang sudah memaksa ingin menetes. Seharusnya, aku bahagia.
Karena teman kecilku sudah mendapatkan tambatan hati. Tapi aku malah sedih. Aku
kecewa. Seakan aku jatuh dari awan yang telah robek tiba - tiba.
"Oh, selamat ya!," Ku coba
melukis senyum diwajah. Meski hatiku terluka.
Kemarin, kamarku penuh tawa. Bahagia.
Dan kini, kamarku penuh tangisan. Foto kenangan ku bersama rian berceceran
dilantai bersama tissue yang basah dengan air mata.
Mataku terpejam diatas kasur yang
sedikit basah. Ku hiraukan semua pesan dari rian, ketukan pintu dari kak fio,
lemparan surat dari rian.
Aku tak butuh penjelasan. Aku tak mau
menyakiti hatiku sendiri. Ku lupakan rian. Ku coba untuk menganggapnya hanya teman
kecil ku, sama seperti rian, yang hanya menganggapku teman masa kecil.
Ia pulang hanya untuk memberi kabar
yang bagiku buruk. Melukai ku. Walau itu kabar baik untuknya.
Pantai ini, pantai ini menjadi saksi.
Saksi ketika ku bahagia. Ketika ku
jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Saksi ketika ku patah hati. Sedih.
Pantai ini dingin, seakan ia
merasakan apa yang ku rasakan. Ku rebahkan tubuh ini di atas pasir pantai,
dibawah terik mentari yang tak begitu menyengat. Mata yang terpejam, tetap
mengeluarkan air dan membasahi wajahku lagi. Untuk kesekian kalinya.
"Periang, heboh, selalu
mempunyai akal untuk membujukku agar aku tak menyerah menghadapi hidup. Bernama
kenya. Tapi, orang yang bernama kenya itu sendiri sekarang malah rapuh dan tak
mau bangkit," Ucap seseorang membangunkanku.
Jery. Teman sekampus ku. Orang yang
pernah putus asa karena keluarganya berantakan. Ayahnya menikah lagi saat
ekonomi mereka sedang naik daun. Hampir keluar dari kampus karena keputus
asaannya.
"Tikus? Apa maksud mu?,"
Tanyaku sambil menghapus air mata.
Aku sering memanggilnya tikus. Karena
namanya sama seperti tokoh tikus didalam film kesukaan kak fio. "Tom
And Jery".
Selama satu jam. Mungkin ceritaku
sudah seperti buku. Saking banyaknya ceritaku yang aku ceritakan pada jery.
"Hey ken!," Ditengah
pembicaraanku bersama jery, rian datang menggandeng perempuan cantik.
"Ken! Kemarin aku mencarimu! Kau
kemana? Kau sakit? Aku hampir lelah bolak balik ke rumahmu, tapi tak pernah
berhasil menemui mu. Surat - surat yang
ku lempar juga tak kau ambil." Paparnya didepan jery dan perempuan itu.
"Aku tak apa. Mau apa kau? Ini
siapa?," Tanyaku ketus.
Ia menjelaskan semuanya. Dari awal ia
bertemu chery. Tunangannya yang sekarang ada di hadapanku. Membuat mataku
perih. Hatiku luka. Dan rian, seperti lelaki polos tak berdosa. Memintaku untuk
menjadi photographer diacara pernikahannya minggu depan. Entah aku akan
menjawab apa. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.
"Loh ken, minggu depan itu
bukannya kamu berangkat ke Arab? Kita kan satu pesawat nanti!," Ucap jery,
mengingatkanku bahwa aku memang ada acara pada hari itu. Aku akan berangkat
umroh bersama keluargaku, dan keluarga jery juga. "Iya, maaf ya rian.
Mungkin, lain kali saja aku menjadi photographer diacaramu. Maafkan aku,"
Jawabku pada rian dan segera pergi dari pantai. Jery mengikutiku dengan santai.
"Mau kemana kau? Mengapa kau
meninggalkan ku?," Tanyanya.
"Pulang. Aku tak mengajakmu ke
pantai. Jadi, aku pulang juga tak usah mengajakmu kan?,"
"Ken, apa susahnya kau untuk
melupakan rian?,"
Kepalaku tersentak dan menoleh ke
arah jery. Dengan mimik bingung, kaget. Aku pergi tanpa menghiraukannya.
Malam ini, adalah malam yang sendu.
Besok adalah hari keberangkatan ku, dan hari pernikahan rian.
Aku hanya mampu berdo'a, agar rian
bahagia dengan perempuan yang memang pilihannya.
"Rian, maaf jika aku lancang
menulus surat ini. Mungkin, aku egois. Aku tak memikirkan perasaan calon isteri
mu. Tapi jujur, aku mencintaimu. Aku terluka, saat hari itu kau mengatakan
bahwa kau sudah memiliki tunangan. Rian, aku janji, aku tak akan mengganggu mu.
Aku mengatakan seperti ini, aku hanya mau kau tahu. Apa yang ku rasakan. Aku
menunggumu pulang, aku setia menantimu. Tapi Allah tak mengizinkanku untuk
memiliki mu lebih. Aku berangkat Umroh bersama kak fio juga, maaf aku tak bisa
hadir diacara pernikahanmu. Selamat membina hidup baru. Semoga kau dapat
menjadi imam yang baik untuk isteri dan anak mu kelak. Salam. Kenya"
Ku lemparkan surat itu pada jendela
rumah rian. Derai air mata menghantarku juga. Hatiku semakin sakit. Entah
kenapa, kenya yang tegar berubah secepat kilat menjadi kenya yang rapuh hanya
karena cintanya lebih memilih cinta yang lain, yang mungkin lebih baik.
Pagi harinya, aku sudah siap dengan
pakaian dan koperku.
Mama, papa, kak fio, jery dan
keluarganya sangat bahagia. Bersemamgat. Tapi aku?
Aku masih seperti ini, rasanya kakiku
sangat berat ku langkahkan. Seakan memberi isyarat padaku, seolah tak mau
menginjakkan kaki untuk menaiki pesawat ini.
Perasaan ku semakin tak karuan saat
aku didalam pesawat.
"jer, aku takut." Ucapku
pada jery, ketika pesawat yang ku tumpangi perlahan meluncur.
"Kau baru pertama naik pesawat.
Mungkin kau hanya ...."
Belum selesai jery menjawab, pesawat
ini sudah terbang. Namun, dengan tak biasa. Pesawat ini seperti pesawat kertas
yang dimainkan anak kecil, berkelok - kelok diatas langit. Ramai dengan
teriakan ku, teriakan para penumpang lain.
Tak sampai 5 menit, pesawat ku sudah
jatuh di air,
Ku tenggelam, dengan tangan yang
masih menggenggam erat tangan jery.
Begitupun kak fio, yang masih
menggenggam erat tanganku.
Ketika ku membuka mata, aku sudah
berada dirumah sakit.
Disebuah ruangan yang berisi keluarga
ku dan keluarga jery.
Namun, semuanya berkumpul menatapku.
Seakan takut ku tak kembali.
Tangan jery. Tangan ini masih
menggenggamku. Begitu erat. Begitu penuh rasa.
Ku tatap semua orang yang ada disini,
tapi mataku tak menemukan rian. Bahkan, suratku tak ia balas.
Ya Allah,
Ternyata, aku memang bukan untuk
rian. Semoga rian bahagia bersama orang lain. Dan aku bahagia dengan duniaku
sendiri.
(DSM)
Komentar
Posting Komentar