Malam sendu yang terguyur air hujan
..
Meninggalkan jejak dibumi,
Mencoba mengenalkan diri pada
penghuni bumi, bahwa inilah aku.
Inilah aku sebuah air hujan yang siap
memberikan kalian kesegaran meski terkadang aku menjadi penghalang disetiap
aktifitas kalian sekalian.
Ku buka jendela, ku tatap dan mencoba
bercengkrama bersama air hujan. Mencoba memberi sapa kepadanya, mata yang penuh
harap memberikan kesan sendu pada wajahku.
"Mengapa? Aku baru tahu, bahwa
seorang kuda poni dapat bersedih hati".
"Kuda poni juga makhluk yang tak
sempurna. Kadang ia menggemaskan, terlihat hebat bersama tanduk diatas
kepalanya, menyebalkan karena sikapnya dan tentu ia juga dapat bersedih hati.
Seperti yang sedang ku rasa".
"Memang, ada apa denganmu? Apa
ada yang salah dengan kakak mu yang tampan ini?".
Ku gelengkan kepala untuk menjawab
pertanyaan yang sedikit konyol.
Ku play music pada music box.
Kini, lantunan lagu sendu ikut
meramaikan kamar ku. Berpacu bersama suara gemuruh air hujan diluar rumah.
Perasaan gundah ini datang saat kau
pergi meninggalkanku tanpa alasan apapun.
Beberapa pesan elektronik yang ku
sampaikan, semua tenggelam tanpa ada balasan apapun darimu.
.
Pagi ini, ku terbangun dengan
perasaan yang masih sama seperti malam itu. Matahari seakan malas untuk
membangunkan ku pula, suara ayam turut tak hadir pagi ini.
Ku langkahkan kaki ku pagi ini,
bersama tujuan yang ku tetapkan.
Langkahku terhenti di daun pintu
kampus, mataku terpana dan terpaku pada seseorang yang duduk disamping bangku
ku.
"Selamat pagi". Sapanya
dengan tebaran senyuman manis.
"Apa maksudmu?". Jawabku
dengan mata berkaca - kaca.
"Haha mengapa? Hey, apa kau
lupa? Hari ini hari jadi kita. Aku hanya mengerjaimu saja. Ayolah tersenyum
padaku!".
"Kau sangat menyebalkan!".
Jawabku dengan nada tinggi .
Rasa kesal, bad mood, senang, kagum
semua campur menjadi satu dihari ini.
Caranya memang cukup menegangkan dan
menjengkelkan tapi ada sisi manis tersimpan didalamnya.
.
Hari ini, badan ku terasa ngilu.
Semua seakan tak bertenaga, hanya mampu terbaring diatas tempat tidur.
Hanya selimut yang setia memeluk ku,
gagang pintu yang begitu dingin membuat ku enggan pergi kemana - kemana meski
hanya untuk mengambil segelas air minum.
"Jika kau butuh sesuatu, telpon
aku".
Tulis kak Dimas pada notes yang ia
tempel di pintu kamarku.
Entah mengapa, semua orang terdekatku
seakan menghilang saat aku jatuh sakit. Inilah yang terjadi, dulu aku bertanya
apakah nanti disaat aku lemah tak berdaya ada seorang insan yang akan setia
menemaniku hingga aku pulih? Akankah tangisan dari hati yang tulus menjadi
syair terindah yang menghantarkanku pada peristirahatanku ?
Kini saatnya telah tiba, aku jatuh
sakit. Tak ada orang yang menemaniku. Mungkinkah suara tangisan itu nanti juga
tak akan ada ?
1 minggu telah berlalu, tubuhku
sedikit mempunyai tenaga dan mendukungku untuk bangun.
Disekolah, semua rasa sakit itu
datang kembali. Tangan kasar lelaki itu mencoba meraih wajahku, ia memberiku
sehelai kain untuk menghapus darah yang keluar dari hidungku.
"Aku antar kau pulang".
Pintanya saat bel pulang sekolah berbunyi.
"Vino,". Ucapku lirih saat
ia hendak pergi mengambil air minum di dapurku.
"Mengapa? Kau istirahat saja,
aku akan merawatmu. Maaf jika kemarin aku tak ada untukmu, aku keluar kota
untuk menemui ayahku". Jawabnya penuh senyum dan segera pergi.
Dan akhirnya, pertanyaanku terjawab.
Bahwa disaat aku lemah, akan ada satu
orang yang selalu ada untukku. Memberiku cinta, semangat untuk menjalani
semuanya, melukis senyum diwajaku, merangkul tubuhku saat bumi membuat kamarku
dingin seperti lemari es, menjadi figur ayah untukku disaat mereka semua sibuk
dengan urusannya hingga lupa ada yang lebih butuh mereka dibandingkan urusam
duniawinya.
Malam semakin larut, ruangan ini
begitu mencekam, mengerikan bersama suhu yang begitu tidak bersahabat dengan
suhu tubuhku.
Tubuh yang menggigil, ku paksa kuat
untuk mengangkat telepon genggam dengan harapan, kak Dimas rela menyumbang
kehangatan untukku.
Beberapa menit kemudian, muncul
seseprang dibalik pintu kamarku, dengan wajah cemas lengkap dengan atributnya
untuk menghangatkanku.
"Kau tak apa? Apa aku terlambat
menjadi dokter penolongmu?".
Celotehan yang begitu khas. Perhatian
dan kekonyolannya selalu berbarengan hadir mewarnai hariku, memecah ketakutanku
saat itu. Ketakutan akan mati kedinginan seketika pudar dengan datangnya kakak
kesayanganku.
Pelukan hangat seorang kakak, mungkin
sudah cukup untukku. Jika itu yang bisa ku rasa, apa boleh buat. Sampai kapan
aku harus berangan ingin merasakan kehangatan pelukan orang tua ? Disini ada
kak Dimas yang begitu perhatian dan membuat kesan hangat dihidupku walau tanpa
ayah ibu.
"Makasih kak". Ucapku lirih
sebelum ku terlelap dalam pelukan hangatnya.
Mataku terpejam, seiring dengan
perginya kak Dimas dari tempat tidurku beralih tidur di sofa kamarku.
Pagi harinya, untuk kesekian kalinya
aku menambah absen didaftar absen kelasku. Karena kak Dimas tak mengizinkanku
untuk pergi kemana - mana, jangankan sekolah, kekamar mandipun jika tak
diizinkan aku tak bisa pergi.
Seperti biasa, teman hatiku
berkunjung untuk melihat keadaanku, untuk menemaniku disaat kak Dimas belum
kembali dari kampusnya, untuk sekedar menjadi pelayan tanpa bayaranku.
"Hi cantik".
"Hi tampan".
"Bagaimana hari ini? Apa kau
membaik? Apa kau tak ingin ke rumah sakit saja?".
"Aku membaik, aku tak ingin ke
rumah sakit. Disini aku lebih nyaman bersama dua suster pribadiku".
"Siapa ? Aku ? Oke, asal kau
janji kau harus pulih".
"Aku akan berusaha bangkit demi
orang yang aku sayang. Termasuk dirimu".
Senyuman diwajahnya yang selalu
membuatku bersemangat.
Aku tak mungkin menyerah pada
penyakit, apa jadinya kak Dimas jika aku pergi ? Apa yang akan terjadi pada
Vino jika aku menyerah ? Dan apa yang akan terjadi jika saat ayah ibu pulang
aku sudah pulang terdahulu ?
Meski mereka tak memperdulikanku, aku
masih berharap mereka akan pulang untukku.
1 minggu berlalu, aku masih saja
seperti ini. Masih dalam keadaan lemah. Yang berbeda adalah ruangan. Kini kamar
ku berubah menjadi kamar rumah sakit, penuh dengan peralatan rumah sakit yang
menakut - nakuti ku. Seakan bicara, bahwa mereka akan menbunuhku.
"Ibu akan pulang bersama Ayah.
Kau harus tenang".
Sebuah pesan singkat yang membuatku
sedikit terkejut. Membuatku bahagia, air mata yang jatuh bersama harapanku
seakan sudah diberi tanda bahwa semuanya akan menjadi nyata. Aku akan bertemu
ayah dan ibu, setelah sekian lama mereka tak pernah bertemu denganku.
Rasa bahagia ku, mampu mengalahkan
rasa sakit yang ku derita.
Sudah dua hari, mereka tak kunjung
datang. Dan aku? Aku masih memegang janji mereka, aku masih berharap bahwa
mereka akan datang.
Hingga saatnya tiba, aku merasakan
sakit yang teramat pedih yang bergejolak dalam tubuhku.
Namun, mereka belum juga datang.
"Ibu..". Ucapku pelan di
sela - sela jeritanku menahan rasa sakit.
Mereka datang.
Mereka benar - benar datang, dan
membuat suasana berbeda, memberikanku harapan lagi bahwa aku masih diingat
mereka.
Tuhan ..
Berikan aku kekuatan untuk hidup
lebih lama ..
Berikan aku kesehatan sekarang juga
agar aku masih bisa merasakan indahnya dunia bersama dua malaikatku.
"Hi peri kecilku. Ayo, kau harus
kuat. Buktikan jika kau memang peri kecil ayah yang kuat".
"Aku pasti akan buktikan pada
ayah".
"Ibu dan ayah akan tetap disini
untukmu".
Derai air mata menghiasi wajah ibu,
tangan lemahku mulai bertenaga. Ku raih pipinya, ku tepis air mata ibu.
"Jangan menangis bu, semangat
ibu adalah kekuatan untukku". Senyumku pada ibu.
1 munggu telah berlalu, kondisiku
seakan lebih membaik. Aku memiliki tenaga yang cukup kuat untuk tetap hidup
bersama orang - orang yang ku sayang.
1 hal yang paling penting, ternyata
kehadiran seorang ayah dan ibu adalah obat paling manjur apapun penyakitnya.
Kini, hari - hariku semakin berwarna
dengan kehadiran semua orang yang ku sayang termasuk vino.
Meski sebuah pengakuan yang sangat
pahit sempat terucap.
Bahwa ayahku sudah berpisah dengan
ibu.
Hatiku hancur, tapi apa boleh buat
itu keputusan mereka, aku mencoba untuk menerimanya. Yang terpenting mereka ada
untukku. Selalu menyayangiku dan kak Dimas.
Ibu, adalah pahlawanku. Dokter paling
hebat yang pernah ku temui.
Terimakasih ibu. Ketulusan hatimu
telah membuatku sadar akan begitu pentingnya hati seorang anak dimata ibunya.
Sampai kau rela menemuiku bersama ayah meski aku tahu, hatimu terluka karena
ayah juga yang pergi meninggalkanmu bersama wanita lain.
(DSM)
Komentar
Posting Komentar