Langsung ke konten utama

Keluarga Kecilku



Aku tetap bertahan melewati semuanya,
Aku masih berdiri kokoh diatas ribuan duri yang menempel ditelapak kaki,
Aku menatap kedepan, mantap.
Meski hidupku penuh liku, air mata, dan jeritan jiwa. Tapi aku tetap percaya, bahwa semua ini adalah jalan menuju kebahagiaan.
Berawal dari hari itu, aku dipinang oleh pria yang mungkin bisa dikatakan sederhana, pria yang biasa-biasa saja dan tidak lagi perjaka, melainkan ia pernah menikah dengan perempuan lain.
5 tahun sudah usia pernikahanku, sulitnya hidup telah ku lewati dengan hati ikhlas. Hidup serba berkecukupan, dalam arti lain aku dan keluarga kecilku ini tidak sengsara seperti orang-orang diluar sana.
Tapi kebahagiaan kecilku itu mulai pudar, saat perlakuan suamiku yang sudah kelewatan.
Ia tak mau bersyukur akan apa yang ia dapatkan, ia suka berjudi, selingkuh. Aku hanya mampu menangis dalam hening bersama dengan anakku.
Hati yang menjerit menahan sakit, tak pernah ia rasakan. Ia bersenang-senang dengan wanita lain dibelakangku. Saat aku bersusah payah menghidupi anak pertamaku, saat aku berjuang untuk tetap hidup. Dengan kekayaan yang hanya sedikit.
"Apa kau sadar dengan semua ini? Menyakitiku, melukaiku!" Ucapku bercucuran air mata didepan suamiku.
Ia tak menjawab, ia berlalu begitu saja tanpa sepatah katapun. Hati yang mengumpulkan banyak pertanyaan ini masih menangis, menangisi nasibku yang tak pernah ku bayangkan akan terjadi seperti ini.
Ya Allah, mengapa kau pilih aku untuk menjalani semua ini? Mengapa harus aku? Mengapa begitu beratnya tugas yang harus ku jalani darimu?
Aku memang selalu berusaha untuk menerima semua ini, tapi tak pernah ada sejarahnya perempuan yang diduakan tak pernah menangis. Aku hanyalah perempuan biasa, aku hanya bisa mengadu kepada-Mu.
"Mengapa? Jika seperti itu keadaannya, biarkan saja. Kau pergi saja, tak usah menjadi malaikat yang selalu bertahan dan sabar menghadapi ini. Mungkin kalian tidak berjodoh," Kata saudara dari suamiku, pedas dan begitu menusuk hati. Kata-kata yang tak pernah ku sangka akan keluar dari mulutnya.
"Bagaimanapun juga, saya tetap memegang teguh pendirian saya. Bahwa saya akan tetap bertahan menjaga keluarga kecil saya meski sangat sakit rasanya mempertahankan semuanya" Jelasku dan segera pergi dari tempat itu.
Air mataku tak pernah berhenti mengalir. Semakin deras dan sampai diujung jalan itu, ku tersungkur dan jatuh. Ku coba gapai dan meremas air hujan yang tak kalah derasnya dengan air mataku, menjerit sekencang yang ku bisa. Tak ku hiraukan orang-orang melihatku aneh, ku abaikan tatapan orang-orang kepadaku. Sakit yang ku rasakan mengalahkan rasa malu ku terhadap semuanya.
Sampai saatnya tiba, perjuangan dan penantianku selama ini berakhir. Suamiku kembali ke jalan yang benar, meninggalkan lembah hitam yang suram itu dan kembali merangkul keluarga kecilku lagi.
Kebahagiaan ini tak dapat ku bandingkan dengan yang lain, air mataku seakan tersendat dan tak mengalir lagi. Melihat orang yang ku cinta kembali pulang, membawa sejuta kerinduan ku terhadapnya.
Kini, aku kembali mencoba membina keluarga kecilku lagi dengan rapi. Ku tata semuanya dari awal.
Hingga saatnya aku berhasil, keluarga kecilku sempurna menjadi keluarga kecil yang penuh dengan senyuman.
Tapi aku tak pernah habis pikir, bagaimana bisa keluarga kecilku yang pernah hampir hancur berantakan, ku bina dari awal dan kini keluarga kecil ini akan hancur lagi?
"Gaji mu adalah gaji ku juga. Tapi gajiku adalah gajiku sendiri. Mengerti? Kau hidupi anakmu sendiri, bukankah gajimu juga sudah mencukupi? Tak usah kau campurkan dengan gajiku lagi" Ucap suamiku.
"Tak adil! Apa kau tak pernah berpikir? Kau adalah pemimpinku! Kau yang seharusnya menafkahiku!"
"Tak usah banyak bicara! Lakukan apa yang aku perintahkan padamu! Paham?"
Suara nada tinggi itu mulai ku dengar lagi. Bentakkan itu mulai datang kembali.
Dan hatiku juga mulai pilu kembali. Sulit, sulit ku bayangkan. Ada apa sebenarnya dengan keluargaku? Mengapa selalu ada saja permasalahan? Kecil, besar semuanya pernah ku lalui, tapi mengapa tak pernah berhenti? Mengapa selalu menghampiriku?
Batin ku terasa sangat sakit, seakan tak pernah ada kata senang dalam perjalanan hidupku.
Apa harus aku meminta pada Allah menurunkan adzab agar suamiku sadar? Agar ia mau bertaubat?
Aku mengalah, ku jalani semuanya. Demi kehidupan anakku. Demi kesenangan dan kebahagiaan anakku.
"Bulan depan, kita pergi haji" Ucap suami ku didaun pintu rumahku.
"Sungguh?"
"Ya, aku mendapatkan rezeki yang cukup untuk pergi haji."
Kabar ini mengejutkan sekaligus membuatku bahagia.
Aku tak percaya, bertahun-tahun kehidupan keluarga ku tak pernah bahagia, saat ini kabar membahagiakan itu datang.
Kesabaranku kini telah Allah balas dengan kabar baik ini.
Terimakasih ya Allah, hanya puji syukur yang dapat ku panjatkan pada-Mu.
Hari itu datang, kebahagiaanku datang.
Ku sambut kebahagiaan itu dengan senyuman, syukur dan ucapan terimakasih untuk Allah.
Ibadah haji itu telah ku raih, kebahagiaan keluargaku pun sudah ku dapatkan. Perlakuan suamiku sudah membaik. Dan kini, aku dapat menyimpulkan bahwa hidup tidaklah mudah.

Penuh perjuangan dan air mata yang pasti akan datang, tapi kebahagiaan tidak sebanding dengan luka. Allah menyenangkan hatiku, melebihi rasa sakit yang pernah ku rasakan.


*DSM*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seharusnya Tidak Seperti Ini

Aku tidak berbohong, Ketika aku mengatakan tertarik padamu. Aku tidak menyangkal, Bahwa aku memikirkanmu. Tapi setelah terpikirkan kembali, Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Hati dapat terbolak balik. Ketika matahari terbenam, Rinduku tidak ikut membenamkan diri. Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Rasa ini terkadang berubah. Aku tidak lari. Aku tidak bersembunyi. Tapi apa yang terjadi? Saat Allah berkata jangan, Aku takkan melakukan. Aku berjaga. Aku turut diam. Bahkan ketika kamu menjauhkan diri, Meski rinduku menusuk hati, Aku tidak menuntutmu untuk berbalik. Aku tidak menyerah. Aku hanya pasrah karena Allah. Karena Allah tahu. Karena Allah sudah putuskan. Seharusnya tidak seperti ini. Dari awal angin berhembus menerbangkan dedaunan kering itu, Seharusnya aku tahu, Hatiku milikNya. Dan aku tidak pergi kearah kemana hatiku tidak mengarahkannya. Kini, tinggalah hatiku sendiri. Dan kamu, juga telah tertutup embun