Aku tetap bertahan melewati semuanya,
Aku masih berdiri kokoh diatas ribuan
duri yang menempel ditelapak kaki,
Aku menatap kedepan, mantap.
Meski hidupku penuh liku, air mata,
dan jeritan jiwa. Tapi aku tetap percaya, bahwa semua ini adalah jalan menuju
kebahagiaan.
Berawal dari hari itu, aku dipinang
oleh pria yang mungkin bisa dikatakan sederhana, pria yang biasa-biasa saja dan
tidak lagi perjaka, melainkan ia pernah menikah dengan perempuan lain.
5 tahun sudah usia pernikahanku,
sulitnya hidup telah ku lewati dengan hati ikhlas. Hidup serba berkecukupan,
dalam arti lain aku dan keluarga kecilku ini tidak sengsara seperti orang-orang
diluar sana.
Tapi kebahagiaan kecilku itu mulai
pudar, saat perlakuan suamiku yang sudah kelewatan.
Ia tak mau bersyukur akan apa yang ia
dapatkan, ia suka berjudi, selingkuh. Aku hanya mampu menangis dalam hening
bersama dengan anakku.
Hati yang menjerit menahan sakit, tak
pernah ia rasakan. Ia bersenang-senang dengan wanita lain dibelakangku. Saat
aku bersusah payah menghidupi anak pertamaku, saat aku berjuang untuk tetap
hidup. Dengan kekayaan yang hanya sedikit.
"Apa kau sadar dengan semua ini?
Menyakitiku, melukaiku!" Ucapku bercucuran air mata didepan suamiku.
Ia tak menjawab, ia berlalu begitu
saja tanpa sepatah katapun. Hati yang mengumpulkan banyak pertanyaan ini masih
menangis, menangisi nasibku yang tak pernah ku bayangkan akan terjadi seperti
ini.
Ya Allah, mengapa kau pilih aku untuk
menjalani semua ini? Mengapa harus aku? Mengapa begitu beratnya tugas yang
harus ku jalani darimu?
Aku memang selalu berusaha untuk
menerima semua ini, tapi tak pernah ada sejarahnya perempuan yang diduakan tak
pernah menangis. Aku hanyalah perempuan biasa, aku hanya bisa mengadu
kepada-Mu.
"Mengapa? Jika seperti itu
keadaannya, biarkan saja. Kau pergi saja, tak usah menjadi malaikat yang selalu
bertahan dan sabar menghadapi ini. Mungkin kalian tidak berjodoh," Kata
saudara dari suamiku, pedas dan begitu menusuk hati. Kata-kata yang tak pernah
ku sangka akan keluar dari mulutnya.
"Bagaimanapun juga, saya tetap
memegang teguh pendirian saya. Bahwa saya akan tetap bertahan menjaga keluarga
kecil saya meski sangat sakit rasanya mempertahankan semuanya" Jelasku dan
segera pergi dari tempat itu.
Air mataku tak pernah berhenti
mengalir. Semakin deras dan sampai diujung jalan itu, ku tersungkur dan jatuh.
Ku coba gapai dan meremas air hujan yang tak kalah derasnya dengan air mataku,
menjerit sekencang yang ku bisa. Tak ku hiraukan orang-orang melihatku aneh, ku
abaikan tatapan orang-orang kepadaku. Sakit yang ku rasakan mengalahkan rasa
malu ku terhadap semuanya.
Sampai saatnya tiba, perjuangan dan
penantianku selama ini berakhir. Suamiku kembali ke jalan yang benar,
meninggalkan lembah hitam yang suram itu dan kembali merangkul keluarga kecilku
lagi.
Kebahagiaan ini tak dapat ku
bandingkan dengan yang lain, air mataku seakan tersendat dan tak mengalir lagi.
Melihat orang yang ku cinta kembali pulang, membawa sejuta kerinduan ku
terhadapnya.
Kini, aku kembali mencoba membina
keluarga kecilku lagi dengan rapi. Ku tata semuanya dari awal.
Hingga saatnya aku berhasil, keluarga
kecilku sempurna menjadi keluarga kecil yang penuh dengan senyuman.
Tapi aku tak pernah habis pikir,
bagaimana bisa keluarga kecilku yang pernah hampir hancur berantakan, ku bina
dari awal dan kini keluarga kecil ini akan hancur lagi?
"Gaji mu adalah gaji ku juga.
Tapi gajiku adalah gajiku sendiri. Mengerti? Kau hidupi anakmu sendiri,
bukankah gajimu juga sudah mencukupi? Tak usah kau campurkan dengan gajiku
lagi" Ucap suamiku.
"Tak adil! Apa kau tak pernah
berpikir? Kau adalah pemimpinku! Kau yang seharusnya menafkahiku!"
"Tak usah banyak bicara! Lakukan
apa yang aku perintahkan padamu! Paham?"
Suara nada tinggi itu mulai ku dengar
lagi. Bentakkan itu mulai datang kembali.
Dan hatiku juga mulai pilu kembali.
Sulit, sulit ku bayangkan. Ada apa sebenarnya dengan keluargaku? Mengapa selalu
ada saja permasalahan? Kecil, besar semuanya pernah ku lalui, tapi mengapa tak
pernah berhenti? Mengapa selalu menghampiriku?
Batin ku terasa sangat sakit, seakan
tak pernah ada kata senang dalam perjalanan hidupku.
Apa harus aku meminta pada Allah
menurunkan adzab agar suamiku sadar? Agar ia mau bertaubat?
Aku mengalah, ku jalani semuanya.
Demi kehidupan anakku. Demi kesenangan dan kebahagiaan anakku.
"Bulan depan, kita pergi
haji" Ucap suami ku didaun pintu rumahku.
"Sungguh?"
"Ya, aku mendapatkan rezeki yang
cukup untuk pergi haji."
Kabar ini mengejutkan sekaligus
membuatku bahagia.
Aku tak percaya, bertahun-tahun
kehidupan keluarga ku tak pernah bahagia, saat ini kabar membahagiakan itu
datang.
Kesabaranku kini telah Allah balas
dengan kabar baik ini.
Terimakasih ya Allah, hanya puji
syukur yang dapat ku panjatkan pada-Mu.
Hari itu datang, kebahagiaanku
datang.
Ku sambut kebahagiaan itu dengan
senyuman, syukur dan ucapan terimakasih untuk Allah.
Ibadah haji itu telah ku raih,
kebahagiaan keluargaku pun sudah ku dapatkan. Perlakuan suamiku sudah membaik.
Dan kini, aku dapat menyimpulkan bahwa hidup tidaklah mudah.
Penuh perjuangan dan air mata yang
pasti akan datang, tapi kebahagiaan tidak sebanding dengan luka. Allah
menyenangkan hatiku, melebihi rasa sakit yang pernah ku rasakan.
*DSM*
Komentar
Posting Komentar