*Next..
Sejak malam itu, aku
berpikir bahwa kita akan selalu bersama. aku dan dimas hanyalah sebatas insan
yang memadu kasih dan berusaha merencanakan sebelum Allah menentukan jodoh yang
memang sudah Ia takdirkan untuk kita masing – masing, tapi aku selalu berdo’a
agar Allah mau mendengarkan harapanku dan Dimas yang ingin selalu bersama dan
memang ditakdirkan untuk bersama hingga akhir hayat.
Pagi ini, di sekolahku
adalah hari paling penting. Karena berdasarkan pemberitahuan kemarin, katanya
aka nada pengumuman dari seseorang dan terlebih lagi gossip menyatakan bahwa
ini moment terpenting dan bersejarah untukku. Aku sempat berpikir, apa ada
hubungannya dengan Dimas?
“ Liv, ayo kita ke lapangan! Pengumuman
segera dimulai! Kalo ketinggalan tar nyesel loh!”. Seru Dimas sembari menarik
tanganku.
“ Ada apa sih ini?”
“ Yang jelas, ini pasti akan menjadi
hari bersejarahmu!”
“ Kau mengetahui sesuatu?”
“ Tentu”
“ Lalu, mengapa kau hanya diam dan
membuatku bertanya – tanya?”
“ Aku tak ingin kau mendengar dari
mulutku. Akan lebih asyik dan menyenangkan jika kau mendengarnya langsung”
“ Ok, tapi ini tak menyangkut hubungan
kita kan?”
“ Tergantung”
Tergantung? Kata – kata Dimas tak dapat
ku serap dengan cepat. Sampai 10 menit aku dan yang lain berdiri di lapangan
ditemani terik mentari yang sangat menyengat kulit ini, pengumuman itu belum
juga diumumkan. Rasa penasaranku mulai memuncak terlebih aku masih memikirkan
kata – kata Dimas tadi.
Tak lama kemudian, kepala sekolahku
datang dan berdiri ditengah – tengah kita semua. Dimas memegangi tanganku
dengan erat, seolah – olah memberiku isyarat, bahwa dia tak ingin ku lepaskan.
Pembukaan dari kepala sekolahku cukup lama, dan selama itu pula tangan Dimas
menyatu dengan tanganku.
“ Livi, bapak sangat bangga denganmu.
Kau adalah murid yang paling bapak banggakan diantara yang lain, semuanya
memang bapak banggakan, tapi untuk kali ini kamu membuat bapak senang. Karena
dengan ini, kamu telah menandakan bahwa bapak berhasil mendidik anak didik
bapak dengan baik. Sebelumnya, bapak ingin bertanya padamu, apa kamu siap
mendengar ini?”. Ucap pak kepala sekolah yang menandakan bahwa ia akan segera
memberitahu apa yang menjadi rasa penasaranku yang sudah sedari tadi bergejolak
dihati.
“ Saya siap pak.”
“ Kemarin, bapak mendapat surat dari
sebuah lembaga yang mengadakan sebuah kompetisi yang kamu ikuti. Apa kamu masih
ingat?”
“ Kompetisi apa pak? Terakhir, saya
hanya mengikuti kompetisi membaca berita dengan bahasa inggris tingkat
nasional.”
“ Ya. Kompetisi itu. Kamu meraih juara
2. Dan hadiah yang mereka janjikan apa kamu masih ingat?”
“ Bagi pemenang itu akan mendapatkan
kesempatan membawakan acara di Korea Selatan pak.” Dengan polos dan cuek, aku
mengatakan hal itu tanpa ekspresi apapun, tapi teman – temanku langsung
seketika melihatku dengan terkejut, begitu pula Dimas. Ia menatapku dalam.
Dengan ekspresi yang menurutku ekspresi itu jarang ia tunjukan padaku. Aku
semakin bingung. Aku belum juga mengerti akan hal ini.
“ Pak, tolong jelaskan, saya masih
belum mengerti”
“ Ya kamu pemenangnya. Dan minggu
depan, kamu akan kami berangkatkan ke Korea Selatan untuk membawakan acara
Reality Show disana mewakili Negara kita. Kamu akan tinggal disana selama satu
minggu. Bapak sangat bangga dengan bakat mu.”
Wow! Sungguh, aku benar – benar semakin
terlihat seperti orang bodoh!
Berita membahagiakan itu, berita mengejutkan
itu aku dengar sendiri dan tak ada respon dariku. Aku hanya mengangguk dan
bingung.
Semua menatapku bahagia, aneh dan
mengucapkan selamat padaku. Namun Dimas? Dimas hanya menatapku dalam. Tak
pernah ia alihkan hingga pengumuman selesai.
“ Kau tak senang aku meraih juara itu?”
“ Aku malah menjadi orang yang paling
bangga padamu. Kamu beruntung. Tapi yang aku bingungkan, mengapa kau tanpa
ekspresi? Bukankah ini menjadi salah satu impian terbesarmu? Untuk mengijak
tanah yang sama dengan idolamu?”
“ Aku hanya sedikit tak percaya dengan
apa yang pak kepala sekolah itu ucapkan. Aku bahagia”
“ Aku sedih dan bahagia sayang”
“ Sedih?”.
Aku tak menyangka Dimas akan
merasa sedih mendengar aku akan dipisahkan sementara dengannya. Dia
mengkhawatirkanku. Apa yang dia khawatirkan memang aku khawatirkan juga, aku
takut. Aku takut, aku akan merindukannya. Aku takut ia bermain dibelakangku.
Wajar saja aku merasakan hal ini. Aku ada disampingnya saja, banyak yang
mengikuti Dimas, Apa lagi jika nanti aku pergi? Tapi disisi lain, aku juga
enggan menolak kesempatan emas ini. Dimas, aku harapkan kau mengertikan
posisiku.
Pulang sekolah, Dimas tak terlihat,
sepertinya Dimas benar – benar marah padaku. Ya Allah, apa yang harus ku
lakukan? Disepanjang jalan sepulang ku dari sekolah, kata – kata kepala sekolah
tadi selalu terngiang ditelingaku. Begitu juga dengan Dimas yang berusaha
memberitahuku bahwa ia tak menyetujui kepergianku ke Negara dimana ku tancapkan
bendera impianku.
Tak biasanya dia meninggalkanku begitu
saja di sekolah. Sepeda yang ku tuntun, menjadi saksi betapa dilemanya aku hari
ini. Antara senang dan khawatir Dimas akan ku lepas untuk beberapa waktu.
Aku menelusuri jalanan dengan menuntun
sepedaku menuju danau yang biasa aku dan Dimas menghabiskan sore kita disana.
Entah mengapa, tempat ini paling ku suka, semenjak dulu Dimas membawaku kesini
dan menghiburku. Saat – saat seperti ini. Ya. Disaat seperti ini, aku
merindukan Dimas. Sungguh, aku merindukannya. Sekitar 15 menit aku sampai
ditepi danau. Ku tinggalkan sepedaku yang ku sandarkan dibawah pohon dekat
danau. Sejuk. Ku angkat kedua tanganku, ku lebarkan dan ku hirup perlahan udara
ini, ku nikmati soreku sendiri. Tanpa Dimas.
Dan tersirat dibenakku, bukankah
awalnya Dimas yang paling bersemangat untuk mengajakku mendengarkan pengumuman
itu? Dan bukankah dia juga sudah mengetahui apa yang akan diumumkan? Tapi
mengapa sekarang dia malah balik marah padaku?
Belum selesai otakku mengatur bayangan
balik pada moment tadi siang, tiba – tiba tangan itu melingkar dipundakku.
Sembari menggenggam balon dan bertuliskan “Waiting dor someday”.
“ Dimas?”. Ku tolehkan kepalaku
kebelakang, dan ya. Itu Dimas.
“ Ya sayang”
“ Apa ini?”
“ Ini adalah balon harapan. Aku
menuliskan Waiting For Someday. Karena aku akan kehilanganmu selama beberapa
hari kedepan. Dan aku akan menunggu sampai suatu hari nanti disaat kamu kembali
kepelukkanku.”. Dimas mengutarakan apa yan ada didalam hatinya, air mata juga
mengiringi cerita disore ini.
“ Aku hanya pergi sebentar kok, Dimas
sayang.”
“ Tapi sama saja, dan aku merasa kau
akan pergi dalam waktu yang lama”
“ Aku tak akan lama. Aku janji, aku
akan segera kembali untukmu”
“ Aku tak bisa, jika kau sayang padaku,
tolong batalkan”
“ Tapi ini mimpiku. Kau juga tahu itu.”
“ Aku tahu,”
“ Lalu?”
“ Tapi aku tak ingin kau pergi”
“ Bukankah kamu sendiri yang memaksaku
untuk mendengarkan segera pengumuman itu? Dan kau bilang, kau sudah
mengetahuinya terlebih dulu, tapi sekarang kau malah uring – uringan seperti
ini”
“ Jadi kamu marah? Kamu tak mau
menerima rasa kekhawatiranku?”
“ Bukan”. Dan saat aku balikkan badan
ke arahnya, Dimas seakan tak ingin aku tatap, ia segera bergegas dengan
sepedanya. Aku tak ingin ini menjadi masalah untuk hubunganku dan Dimas, Karen
ahubungan ini yan sudah aku dambakan, aku tak ingin ini hancur hanya karena
impianku.
Dengan sekuat tenaga kakiku, aku
menggenjot sepedaku hingga aku dapat mengejar Dimas dengan kecepatan tinggi.
“ Kau dengarkan ku dulu”
“ Sudah ku dengar. Jelas”
“ Kau belum mendengarkan semuanya”
“ Sudah jelas. Dan aku mengerti akan
hal itu”
Dengan kecepatan lumayan cepat, Dimas
menabrak trotoar yang ada dihadapannya. Aku reflex. Terkejut akan kejadian yang
menimpa Dimas dihadapan mataku sendiri. Aku segera menghampirinya, berusaha
meraihnya dan membawanya kerumah sakit, namun ia malah seperti tak ingin ku
tolong.
Ia membangunkan dirinya sendiri dan
pergi meninggalkanku yang juga sedikit terluka akibat aku rem mendadak dan
tersungkur dari sepeda hanya karena aku khawatir akan dirinya.
Keesokan harinya, di sekolah aku tak
bertemu dengan Dimas. Aku masih cemas dengan keadaannya setelah dia terjatuh
kemarin.
“ Kita putus”. Ucap Dimas,
Dia menemuiku di kantin. Dengan
perasaan rindu, khawatir dan semunya bercampur aduk, dia memutuskan untuk pergi
dariku.
“ Kenapa? Bukankah kau berjanji akan
selalu bersamaku apapun yang terjadi?”
Air mataku mulai turun membasahi tebing
wajahku. Semakin deras, dan akhirnya aku tak dapat membendung lagi. Aku izin
pulang. Aku tak meneruskan sekolah ku hari ini. Aku kacau. Semuanya musnah
tanpa alasan yang jelas, bahkan Dimas tak memberiku alasan apapun yang
setidaknya aku dapat mempertimbangkan hal itu.
“ Kenapa? Ada apa?”
Tanya sahabatku Mila.
“ Aku boleh memelukmu?”
“ Tentu. Menangislah. Keluarkan semua
yang membuat sakit dihatimu. Tapi jangan menangis lagi esok hari. Karena kamu
gak boleh seperti ini terus,”
Mila memelukku, menenangkanku. Tapi
entah mengapa, entah apa yang terjadi dengan otak dan sikapku. Aku mendadak
malas melakukan semua hal. Bahkan apapun yang aku lakukan, pasti salah dan
semuanya gagal.
Aku berfikir, aku tidak jadi /
membatalkan kepergianku ke Korea Selatan. Tapi aku juga ingin menggapai itu.
Aku tak mau melewatkan satu kesempatanpun. Karena waktu, tak akan bisa kembali
lagi. Ingin rasanya, aku memberhentikan mesin waktu saat Dimas berada
disampingku dan selalu membuatku bahagia. Sekarang, Dimas sudah tak bersamaku,
bahkan dia juga sudah tak pernah menghubungiku lagi. Sudah beberapa kali ku
coba untuk menghubunginya tapi entah, betapa sulit untukku mendapatkan Dimas
kembali. Aku hanya berfikir positif, mungkin Dimas hanya emosi sesaat, dan gak
lama lagi Dimas bakal balik.
Aku akan menunggu itu.
Aku akan selalu disini menunggu Dimas.
Meski aku tahu, Dimas sudah tak
menungguku lagi. Dimas sudah tak mengharapkan waktu kembali ke masa saat kita
bersama lagi. Bahkan menjadi temanpun ia enggan,
Kamu menjadi peran utama dalam dunia khayalan.
Kamu hadir disetiap khayalanku, tapi kamu selalu mencoba berlari pada kenyataannya.
Kamu memghindar.
Seolah-olah ini adalah cara paling ampuh untuk mengusirku kejam.
Rasa rindu yg selalu menghantui, adalah rasa sakit yg terus menerus mematahkan setiap bagian dari hatiku.
Kamu hadir disetiap khayalanku, tapi kamu selalu mencoba berlari pada kenyataannya.
Kamu memghindar.
Seolah-olah ini adalah cara paling ampuh untuk mengusirku kejam.
Rasa rindu yg selalu menghantui, adalah rasa sakit yg terus menerus mematahkan setiap bagian dari hatiku.
Seminggu telah berlalu,
Dimas tak kunjung menghubungiku. Hari ini adalah hari aku harus pergi ke Korea
Selatan. Untuk mengejar impian yang sudah ku dambakan dulu. Aku akan buktikan
pada semua orang, bahwa aku bisa menggapai apa yang sudah menjadi cita – citaku.
Aku berjanji, aku akan kembali masih sama seperti dulu. Masih menyayangi Dimas,
masih menjadi anak yang ingin berbakti pada ayah dan ibunya, anak yang masih
ingin mengabdi kepada tanah air.
Siang ini, aku bertemu
dngan Dimas. Di sekolah. Dia memberiku setitik harapan. Dia melirikku dengan
dalam, meski itu hanyalah satu menit.
Dengan penuh rasa gugup,
aku memberanikan diri memulai pembicaraan dengan Dimas, aku mendekatinya
perlahan, menatapnya lebih dalam lagi. Ku raih tangannya.
“ Dim,?”
“ Ada apa?”
“ Kenapa?”
“ Kenapa apa?”
“ Kenapa kamu pergi?”
“ Sudah jelas. Aku tak menyayangimu
lagi. Dari pada aku tersiksa dan kamu juga tersiksa, mending kita sudahi saja.
Mungkin kita memang tak jodoh”
Dengan santai dan nyamannya, dia
katakan hal itu didepan mukaku. Dengan haru, pilu, air mata yang mulai
membendung di sekitar mataku, aku berusaha tegar. Aku berusaha menciptakan
suasana biasa saja.
Tanpa ku jawab apa yang dia katakan,
aku pergi menjauhinya. Ku lepas perlahan genggaman tanganku, ku berlari menuju
halaman depan sekolah.
Aku tak percaya!
Aku sungguh tak berdaya untuk hal ini!
Mengapa?
Mengapa kamu harus hadir?
Jika hanya akan menyakiti saja!
Batinku teriak. Berontak. Seakan aku
tak mampu untuk berkata apapun, hatiku patah. Patah mendengar sendiri kata – kata
pahit yang keluar dari mulut orang yang ku sayang, tubuhku lemas.
“ Lupakan”
Dimas menghampiriku, dan tiba – tiba
berkata satu kata yang membuat ku terluka lagi.
“ Lupakan? Kau pikir gampang melupakan
apa yang sudah melekat dihati? Iya bagimu memang mudah! Tapi bagiku sulit. Aku
menyayangimu tanpa syarat. Aku mencintaimu tanpa paksaan. Aku tulus dan aku
memang jujur. Tapi kenapa kamu meninggalkanku dan semudah itu menyuruhku untuk
melupakan semuanya?”
“ Kamu cukup diam dan lakukan apa yang
aku pinta!”
“ Tapi permintaanmu bodoh! Mana ada
orang yang mengaku sayang tapi meminta untuk dijauhi?”
“ Sudah ku katakan, aku tak
menyayangimu lagi!”
Dia membentakku. Mendorongku hingga aku
jatuh tersungkur direrumputan di halaman depan sekolahku.
Beberapa murid menonton aksi ku bersama
Dimas. Mereka menatapku aneh, heran. Mengapa bisa? Mengapa bisa dua sejoli yang
biasanya lengket sekarang beradu mulut dan otot didepan khalayak?
Dimas, asal kau tahu. Aku mencintaimu
lebih dari apapun. Bahkan aku telah mencoba untuk mengikuti jejakmu. Lari.
Melupakan. Meninggalkan. Membenci. Tapi usahaku semua sia – sia, aku tetap
menyayangimu. Meski aku tahu, rasa rindu yang kian melekat, menjadi saksi bisu
akan sakitnya hatiku.
Aku tak ingin apapun, aku hanya ingin
kau tahu, semua yang ada didunia ini tak ada yang bisa mengalahkan rasaku.
Tanpa basa – basi, aku pergi. Aku lari.
Sekencang mungkin dan sejauh mungkin. Bersama air mata yang bercucuran, luka
yang semakin pedih ku rasakan. Aku disakiti oleh orang yang jelas – jelas aku
sayang.
Aku tak pernah sekalipun bermimpi akan
dibenci seperti ini oleh orang yang ku sayang.
Jika aku adalah seorang penunggu mesin
waktu, ingin rasanya aku lempar mesin waktu itu hingga hancur. Biar semua yang
aku alami cukup sampai disini saja. Dan biarkan aku mati dibalut dengan rasa
sakit yang ditimbulkan oleh kekasih hatiku sendiri.
“ Liv?”
“ Sudahlah, lupakan kejadian tadi.
Ingat, kamu harus berangkat sekarang. Impianmu sudah menunggumu”. Sambung Riri,
teman sekolahku. Sambil mengelus lembut pundakku.
Aku masih terjaga dalam
kesakitan. Aku masih menangisi sikap Dimas, dan aku masih melamuni kenangan
indah itu. Tanganku yang mulai dingin, mataku yang semakin sembab pun ikut
mengiringi langkahku pergi menjauh dari Dimas.*Bersambung ...
Komentar
Posting Komentar