Langsung ke konten utama

Give Love [2]

*Next..


Sejak malam itu, aku berpikir bahwa kita akan selalu bersama. aku dan dimas hanyalah sebatas insan yang memadu kasih dan berusaha merencanakan sebelum Allah menentukan jodoh yang memang sudah Ia takdirkan untuk kita masing – masing, tapi aku selalu berdo’a agar Allah mau mendengarkan harapanku dan Dimas yang ingin selalu bersama dan memang ditakdirkan untuk bersama hingga akhir hayat.
Pagi ini, di sekolahku adalah hari paling penting. Karena berdasarkan pemberitahuan kemarin, katanya aka nada pengumuman dari seseorang dan terlebih lagi gossip menyatakan bahwa ini moment terpenting dan bersejarah untukku. Aku sempat berpikir, apa ada hubungannya dengan Dimas?

“ Liv, ayo kita ke lapangan! Pengumuman segera dimulai! Kalo ketinggalan tar nyesel loh!”. Seru Dimas sembari menarik tanganku.
“ Ada apa sih ini?”
“ Yang jelas, ini pasti akan menjadi hari bersejarahmu!”
“ Kau mengetahui sesuatu?”
“ Tentu”
“ Lalu, mengapa kau hanya diam dan membuatku bertanya – tanya?”
“ Aku tak ingin kau mendengar dari mulutku. Akan lebih asyik dan menyenangkan jika kau mendengarnya langsung”
“ Ok, tapi ini tak menyangkut hubungan kita kan?”
“ Tergantung”

Tergantung? Kata – kata Dimas tak dapat ku serap dengan cepat. Sampai 10 menit aku dan yang lain berdiri di lapangan ditemani terik mentari yang sangat menyengat kulit ini, pengumuman itu belum juga diumumkan. Rasa penasaranku mulai memuncak terlebih aku masih memikirkan kata – kata Dimas tadi.
Tak lama kemudian, kepala sekolahku datang dan berdiri ditengah – tengah kita semua. Dimas memegangi tanganku dengan erat, seolah – olah memberiku isyarat, bahwa dia tak ingin ku lepaskan. Pembukaan dari kepala sekolahku cukup lama, dan selama itu pula tangan Dimas menyatu dengan tanganku.

“ Livi, bapak sangat bangga denganmu. Kau adalah murid yang paling bapak banggakan diantara yang lain, semuanya memang bapak banggakan, tapi untuk kali ini kamu membuat bapak senang. Karena dengan ini, kamu telah menandakan bahwa bapak berhasil mendidik anak didik bapak dengan baik. Sebelumnya, bapak ingin bertanya padamu, apa kamu siap mendengar ini?”. Ucap pak kepala sekolah yang menandakan bahwa ia akan segera memberitahu apa yang menjadi rasa penasaranku yang sudah sedari tadi bergejolak dihati.
“ Saya siap pak.”
“ Kemarin, bapak mendapat surat dari sebuah lembaga yang mengadakan sebuah kompetisi yang kamu ikuti. Apa kamu masih ingat?”
“ Kompetisi apa pak? Terakhir, saya hanya mengikuti kompetisi membaca berita dengan bahasa inggris tingkat nasional.”
“ Ya. Kompetisi itu. Kamu meraih juara 2. Dan hadiah yang mereka janjikan apa kamu masih ingat?”
“ Bagi pemenang itu akan mendapatkan kesempatan membawakan acara di Korea Selatan pak.” Dengan polos dan cuek, aku mengatakan hal itu tanpa ekspresi apapun, tapi teman – temanku langsung seketika melihatku dengan terkejut, begitu pula Dimas. Ia menatapku dalam. Dengan ekspresi yang menurutku ekspresi itu jarang ia tunjukan padaku. Aku semakin bingung. Aku belum juga mengerti akan hal ini.
“ Pak, tolong jelaskan, saya masih belum mengerti”
“ Ya kamu pemenangnya. Dan minggu depan, kamu akan kami berangkatkan ke Korea Selatan untuk membawakan acara Reality Show disana mewakili Negara kita. Kamu akan tinggal disana selama satu minggu. Bapak sangat bangga dengan bakat mu.”

Wow! Sungguh, aku benar – benar semakin terlihat seperti orang bodoh!
Berita membahagiakan itu, berita mengejutkan itu aku dengar sendiri dan tak ada respon dariku. Aku hanya mengangguk dan bingung.
Semua menatapku bahagia, aneh dan mengucapkan selamat padaku. Namun Dimas? Dimas hanya menatapku dalam. Tak pernah ia alihkan hingga pengumuman selesai.

“ Kau tak senang aku meraih juara itu?”
“ Aku malah menjadi orang yang paling bangga padamu. Kamu beruntung. Tapi yang aku bingungkan, mengapa kau tanpa ekspresi? Bukankah ini menjadi salah satu impian terbesarmu? Untuk mengijak tanah yang sama dengan idolamu?”
“ Aku hanya sedikit tak percaya dengan apa yang pak kepala sekolah itu ucapkan. Aku bahagia”
“ Aku sedih dan bahagia sayang”
“ Sedih?”.
Aku tak menyangka Dimas akan merasa sedih mendengar aku akan dipisahkan sementara dengannya. Dia mengkhawatirkanku. Apa yang dia khawatirkan memang aku khawatirkan juga, aku takut. Aku takut, aku akan merindukannya. Aku takut ia bermain dibelakangku. Wajar saja aku merasakan hal ini. Aku ada disampingnya saja, banyak yang mengikuti Dimas, Apa lagi jika nanti aku pergi? Tapi disisi lain, aku juga enggan menolak kesempatan emas ini. Dimas, aku harapkan kau mengertikan posisiku.
Pulang sekolah, Dimas tak terlihat, sepertinya Dimas benar – benar marah padaku. Ya Allah, apa yang harus ku lakukan? Disepanjang jalan sepulang ku dari sekolah, kata – kata kepala sekolah tadi selalu terngiang ditelingaku. Begitu juga dengan Dimas yang berusaha memberitahuku bahwa ia tak menyetujui kepergianku ke Negara dimana ku tancapkan bendera impianku.
Tak biasanya dia meninggalkanku begitu saja di sekolah. Sepeda yang ku tuntun, menjadi saksi betapa dilemanya aku hari ini. Antara senang dan khawatir Dimas akan ku lepas untuk beberapa waktu.
Aku menelusuri jalanan dengan menuntun sepedaku menuju danau yang biasa aku dan Dimas menghabiskan sore kita disana. Entah mengapa, tempat ini paling ku suka, semenjak dulu Dimas membawaku kesini dan menghiburku. Saat – saat seperti ini. Ya. Disaat seperti ini, aku merindukan Dimas. Sungguh, aku merindukannya. Sekitar 15 menit aku sampai ditepi danau. Ku tinggalkan sepedaku yang ku sandarkan dibawah pohon dekat danau. Sejuk. Ku angkat kedua tanganku, ku lebarkan dan ku hirup perlahan udara ini, ku nikmati soreku sendiri. Tanpa Dimas.
Dan tersirat dibenakku, bukankah awalnya Dimas yang paling bersemangat untuk mengajakku mendengarkan pengumuman itu? Dan bukankah dia juga sudah mengetahui apa yang akan diumumkan? Tapi mengapa sekarang dia malah balik marah padaku?
Belum selesai otakku mengatur bayangan balik pada moment tadi siang, tiba – tiba tangan itu melingkar dipundakku. Sembari menggenggam balon dan bertuliskan “Waiting dor someday”.

“ Dimas?”. Ku tolehkan kepalaku kebelakang, dan ya. Itu Dimas.
“ Ya sayang”
“ Apa ini?”
“ Ini adalah balon harapan. Aku menuliskan Waiting For Someday. Karena aku akan kehilanganmu selama beberapa hari kedepan. Dan aku akan menunggu sampai suatu hari nanti disaat kamu kembali kepelukkanku.”. Dimas mengutarakan apa yan ada didalam hatinya, air mata juga mengiringi cerita disore ini.
“ Aku hanya pergi sebentar kok, Dimas sayang.”
“ Tapi sama saja, dan aku merasa kau akan pergi dalam waktu yang lama”
“ Aku tak akan lama. Aku janji, aku akan segera kembali untukmu”
“ Aku tak bisa, jika kau sayang padaku, tolong batalkan”
“ Tapi ini mimpiku. Kau juga tahu itu.”
“ Aku tahu,”
“ Lalu?”
“ Tapi aku tak ingin kau pergi”
“ Bukankah kamu sendiri yang memaksaku untuk mendengarkan segera pengumuman itu? Dan kau bilang, kau sudah mengetahuinya terlebih dulu, tapi sekarang kau malah uring – uringan seperti ini”
“ Jadi kamu marah? Kamu tak mau menerima rasa kekhawatiranku?”
“ Bukan”. Dan saat aku balikkan badan ke arahnya, Dimas seakan tak ingin aku tatap, ia segera bergegas dengan sepedanya. Aku tak ingin ini menjadi masalah untuk hubunganku dan Dimas, Karen ahubungan ini yan sudah aku dambakan, aku tak ingin ini hancur hanya karena impianku.
Dengan sekuat tenaga kakiku, aku menggenjot sepedaku hingga aku dapat mengejar Dimas dengan kecepatan tinggi.
“ Kau dengarkan ku dulu”
“ Sudah ku dengar. Jelas”
“ Kau belum mendengarkan semuanya”
“ Sudah jelas. Dan aku mengerti akan hal itu”

Dengan kecepatan lumayan cepat, Dimas menabrak trotoar yang ada dihadapannya. Aku reflex. Terkejut akan kejadian yang menimpa Dimas dihadapan mataku sendiri. Aku segera menghampirinya, berusaha meraihnya dan membawanya kerumah sakit, namun ia malah seperti tak ingin ku tolong.
Ia membangunkan dirinya sendiri dan pergi meninggalkanku yang juga sedikit terluka akibat aku rem mendadak dan tersungkur dari sepeda hanya karena aku khawatir akan dirinya.
Keesokan harinya, di sekolah aku tak bertemu dengan Dimas. Aku masih cemas dengan keadaannya setelah dia terjatuh kemarin.

“ Kita putus”. Ucap Dimas,
Dia menemuiku di kantin. Dengan perasaan rindu, khawatir dan semunya bercampur aduk, dia memutuskan untuk pergi dariku.
“ Kenapa? Bukankah kau berjanji akan selalu bersamaku apapun yang terjadi?”

Air mataku mulai turun membasahi tebing wajahku. Semakin deras, dan akhirnya aku tak dapat membendung lagi. Aku izin pulang. Aku tak meneruskan sekolah ku hari ini. Aku kacau. Semuanya musnah tanpa alasan yang jelas, bahkan Dimas tak memberiku alasan apapun yang setidaknya aku dapat mempertimbangkan hal itu.

“ Kenapa? Ada apa?”
Tanya sahabatku Mila.
“ Aku boleh memelukmu?”
“ Tentu. Menangislah. Keluarkan semua yang membuat sakit dihatimu. Tapi jangan menangis lagi esok hari. Karena kamu gak boleh seperti ini terus,”

Mila memelukku, menenangkanku. Tapi entah mengapa, entah apa yang terjadi dengan otak dan sikapku. Aku mendadak malas melakukan semua hal. Bahkan apapun yang aku lakukan, pasti salah dan semuanya gagal.
Aku berfikir, aku tidak jadi / membatalkan kepergianku ke Korea Selatan. Tapi aku juga ingin menggapai itu. Aku tak mau melewatkan satu kesempatanpun. Karena waktu, tak akan bisa kembali lagi. Ingin rasanya, aku memberhentikan mesin waktu saat Dimas berada disampingku dan selalu membuatku bahagia. Sekarang, Dimas sudah tak bersamaku, bahkan dia juga sudah tak pernah menghubungiku lagi. Sudah beberapa kali ku coba untuk menghubunginya tapi entah, betapa sulit untukku mendapatkan Dimas kembali. Aku hanya berfikir positif, mungkin Dimas hanya emosi sesaat, dan gak lama lagi Dimas bakal balik.
Aku akan menunggu itu.
Aku akan selalu disini menunggu Dimas.
Meski aku tahu, Dimas sudah tak menungguku lagi. Dimas sudah tak mengharapkan waktu kembali ke masa saat kita bersama lagi. Bahkan menjadi temanpun ia enggan,
Kamu menjadi peran utama dalam dunia khayalan.
Kamu hadir disetiap khayalanku, tapi kamu selalu mencoba berlari pada kenyataannya.
Kamu memghindar.
Seolah-olah ini adalah cara paling ampuh untuk mengusirku kejam.
Rasa rindu yg selalu menghantui, adalah rasa sakit yg terus menerus mematahkan setiap bagian dari hatiku.
Seminggu telah berlalu, Dimas tak kunjung menghubungiku. Hari ini adalah hari aku harus pergi ke Korea Selatan. Untuk mengejar impian yang sudah ku dambakan dulu. Aku akan buktikan pada semua orang, bahwa aku bisa menggapai apa yang sudah menjadi cita – citaku. Aku berjanji, aku akan kembali masih sama seperti dulu. Masih menyayangi Dimas, masih menjadi anak yang ingin berbakti pada ayah dan ibunya, anak yang masih ingin mengabdi kepada tanah air.
Siang ini, aku bertemu dngan Dimas. Di sekolah. Dia memberiku setitik harapan. Dia melirikku dengan dalam, meski itu hanyalah satu menit.
Dengan penuh rasa gugup, aku memberanikan diri memulai pembicaraan dengan Dimas, aku mendekatinya perlahan, menatapnya lebih dalam lagi. Ku raih tangannya.

“ Dim,?”
“ Ada apa?”
“ Kenapa?”
“ Kenapa apa?”
“ Kenapa kamu pergi?”
“ Sudah jelas. Aku tak menyayangimu lagi. Dari pada aku tersiksa dan kamu juga tersiksa, mending kita sudahi saja. Mungkin kita memang tak jodoh”

Dengan santai dan nyamannya, dia katakan hal itu didepan mukaku. Dengan haru, pilu, air mata yang mulai membendung di sekitar mataku, aku berusaha tegar. Aku berusaha menciptakan suasana biasa saja.
Tanpa ku jawab apa yang dia katakan, aku pergi menjauhinya. Ku lepas perlahan genggaman tanganku, ku berlari menuju halaman depan sekolah.
Aku tak percaya!
Aku sungguh tak berdaya untuk hal ini!
Mengapa?
Mengapa kamu harus hadir?
Jika hanya akan menyakiti saja!
Batinku teriak. Berontak. Seakan aku tak mampu untuk berkata apapun, hatiku patah. Patah mendengar sendiri kata – kata pahit yang keluar dari mulut orang yang ku sayang, tubuhku lemas.

“ Lupakan”
Dimas menghampiriku, dan tiba – tiba berkata satu kata yang membuat ku terluka lagi.
“ Lupakan? Kau pikir gampang melupakan apa yang sudah melekat dihati? Iya bagimu memang mudah! Tapi bagiku sulit. Aku menyayangimu tanpa syarat. Aku mencintaimu tanpa paksaan. Aku tulus dan aku memang jujur. Tapi kenapa kamu meninggalkanku dan semudah itu menyuruhku untuk melupakan semuanya?”
“ Kamu cukup diam dan lakukan apa yang aku pinta!”
“ Tapi permintaanmu bodoh! Mana ada orang yang mengaku sayang tapi meminta untuk dijauhi?”
“ Sudah ku katakan, aku tak menyayangimu lagi!”

Dia membentakku. Mendorongku hingga aku jatuh tersungkur direrumputan di halaman depan sekolahku.
Beberapa murid menonton aksi ku bersama Dimas. Mereka menatapku aneh, heran. Mengapa bisa? Mengapa bisa dua sejoli yang biasanya lengket sekarang beradu mulut dan otot didepan khalayak?
Dimas, asal kau tahu. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Bahkan aku telah mencoba untuk mengikuti jejakmu. Lari. Melupakan. Meninggalkan. Membenci. Tapi usahaku semua sia – sia, aku tetap menyayangimu. Meski aku tahu, rasa rindu yang kian melekat, menjadi saksi bisu akan sakitnya hatiku.
Aku tak ingin apapun, aku hanya ingin kau tahu, semua yang ada didunia ini tak ada yang bisa mengalahkan rasaku.
Tanpa basa – basi, aku pergi. Aku lari. Sekencang mungkin dan sejauh mungkin. Bersama air mata yang bercucuran, luka yang semakin pedih ku rasakan. Aku disakiti oleh orang yang jelas – jelas aku sayang.
Aku tak pernah sekalipun bermimpi akan dibenci seperti ini oleh orang yang ku sayang.
Jika aku adalah seorang penunggu mesin waktu, ingin rasanya aku lempar mesin waktu itu hingga hancur. Biar semua yang aku alami cukup sampai disini saja. Dan biarkan aku mati dibalut dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh kekasih hatiku sendiri.

“ Liv?”
“ Sudahlah, lupakan kejadian tadi. Ingat, kamu harus berangkat sekarang. Impianmu sudah menunggumu”. Sambung Riri, teman sekolahku. Sambil mengelus lembut pundakku.
Aku masih terjaga dalam kesakitan. Aku masih menangisi sikap Dimas, dan aku masih melamuni kenangan indah itu. Tanganku yang mulai dingin, mataku yang semakin sembab pun ikut mengiringi langkahku pergi menjauh dari Dimas.



*Bersambung ...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seharusnya Tidak Seperti Ini

Aku tidak berbohong, Ketika aku mengatakan tertarik padamu. Aku tidak menyangkal, Bahwa aku memikirkanmu. Tapi setelah terpikirkan kembali, Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Hati dapat terbolak balik. Ketika matahari terbenam, Rinduku tidak ikut membenamkan diri. Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Rasa ini terkadang berubah. Aku tidak lari. Aku tidak bersembunyi. Tapi apa yang terjadi? Saat Allah berkata jangan, Aku takkan melakukan. Aku berjaga. Aku turut diam. Bahkan ketika kamu menjauhkan diri, Meski rinduku menusuk hati, Aku tidak menuntutmu untuk berbalik. Aku tidak menyerah. Aku hanya pasrah karena Allah. Karena Allah tahu. Karena Allah sudah putuskan. Seharusnya tidak seperti ini. Dari awal angin berhembus menerbangkan dedaunan kering itu, Seharusnya aku tahu, Hatiku milikNya. Dan aku tidak pergi kearah kemana hatiku tidak mengarahkannya. Kini, tinggalah hatiku sendiri. Dan kamu, juga telah tertutup embun