Langsung ke konten utama

Dear Ayah . . .


*Karya: Delvi Sulistin Monawati*

Malaikat penjaga hatiku,
Malaikat penghapus luka ku,
Malaikat yang siap kapan saja menghapus air mata ku.
Dia ku panggil dengan sebutan “Ayah” .
Aku hidup bersama ayah. Hanya bersama ayah. Ibu sudah lebih dulu pulang.
Ayah adalah segala – galanya untukku.
Ayah adalah penyemangat hidup.
Penyempurna kekuranganku,
Dia segalanya untuk hidupku. Entah aku akan menjadi debu yang sekecil apa jika tak ada ayah?

Setiap do’a aku selalu menyebut ayah. Aku selalu meminta agar ayah tak dipanggil dulu dalam waktu dekat ini, meski aku sadar semuanya sesuai kehendak Allah.
Ayah,
Jika aku harus menurutin semua keinginan ayah, aku akan lakukan demi ayah asal ayah takkan meninggalkanku sendirian. Asal ayah mau menemaniku. Asal ayah tetap menjadi ayah ku yang super hero!

Ayah, napasku adalah napas ayah.
Jika ayah berhenti berpanas, itu betanda aku juga akan berhenti bernapas. Tanpa napas ayah, aku tak dapat bernapas.

Pagi ini, aku melihat pelangi dimata ayah. Begitu indah. Dan mampu membangunkan mataku dari tidur. Ayah tersenyum manis. Dia menopang tubuhku kuat.

“Selamat pagi, Ayhanya ayah”. Sapa ayah dipagi ku.

Ayah selalu setia membangunkan ku setiap pagi. Ayah selalu membantuku berdiri, ayah membantu menopang tubuhku agar bisa tegak meski hanya beberapa menit.
Aku hanya bisa tersenyum manis, yang bisa aku lakukan hanyalah tersenyum. Tak ada hal lain yang bisa ku lakukan. Bahkan, untuk menopang tubuhku sendiri aku tak mampu. Aku mempunyai kelainan. Dimana aku tak dapat menggerakkan seluruh tubuhku. Tubuhku lemas tak berdaya. Bagai tanaman yang layu dan sebentar lagi musnah diterpa angin meski hanyalah angin sepoy – sepoy yang disukai semua orang.
Ayah menguatkan ku. Ayah meyakinkan ku bahwa aku pasti bisa seperti yang lain.
Pagi ini, aku memberanikan diri mengeluarkan suaraku.

“Ayah, aku sayang ayah. Aku mencintai ayah. Dulu, kemarin, sekarang dan hingga nanti”. Ucapku membisikan pada telinga ayah perlahan.
“Ayah bahkan mencintaimu melebihi segalanya termasuk diri ayah. Ayha, bagaimanapun kondisimu, kamu tetap permata hati. Yang tak ternilai harganya dimata ayah.” Ayah mengecup kening ku. Air mata ayah menetes dan mulai membasahi kening ku.

“Ayah, aku ingin seperti dulu. Tolong, bawa aku ke ruang terapi lagi.” Aku menuliskan apa yang ingin ku sampaikan pada ayah melalui note yang ayah beri. Karena terkadang, tenaga ku habis hanya untuk berucap satu kalimat.
Dulu, aku sama seperti yang lain. Aku dapat berlari kesana – kesini bersama teman – teman. Namun, Allah berkata lain. Allah memberiku cobaan ini.
Aku sempat drop. Aku menolak untuk di terapi. Karena aku berfikir, untuk apa aku di terapi? Terapi itu hanya menyakiti tubuhku. Terapi itu membuatku lelah. Dokter itu menyuruhku membaca teks panjang. Dokter itu menyuruhku bergerak perlahan dan tiba  tiba aku disuruh bergerak cepat. Tubuhku sakit.
Tapi kali ini, aku berfikir kembali. Aku ingin di terapi!
Aku ingin mengurusi ayahku.
Ayah yang sedari aku kecil sudah merawatku, aku tak ingin dihari tua ayah, ayah masih saja disibukkan megurusi, mengawasi dan merawatku layaknya dedaunan kering yang akan terbawa angin.
Lalu, ayah membawaku ke ruangan terapi. Sekitar 15 menit aku menunggu, akhirnya dokter itu datang.

“Hi! Apa kabarmu Ayha?.” Dokter itu menyapa ku lembut. Dia mirip ibu. Wajah, sikap, semuanya mirip ibu. Meski tetap, ibu tak dapat disamakan dengan siapapun.
“Ok. Ayha, begini; nama saya adalah Friska Racheliah. Panggil saya, tante Friska. Tidak usah dokter. Saya disini adalah temanmu. Saya ingin bermain denganmu. Boleh?.”
“Ya, tante Friska.” Jawabku perlahan dan dengan suara gemetar.

Lalu, terapi dimulai. Terapi kali ini berbeda. Ini sangat menyenangkan! Dia membuatku tertawa setiap saat. Aku tak merasa lelah sama sekali. Dia menggoyangkan tanganku, memelukku, menopang tubuhku untuk berlatih duduk tegak, dan lain sebagainya.
Ayah melihatku dengan bahagia di daun pintu itu.
Ruangan ini juga luas, membuat napasku lega. Sepertinya, ayah sengaja mengganti dokter terapi yang dulu.
Saat terapi sudah berjalan selama seminggu lebih, aku berniat dan mempunyai keinginan, aku tak ingin ayah menghampiriku. Aku ingin menghampiri ayah dengan sisa tenagaku. Dengan apa yang telah diajarkan tante Friska tadi. Aku berjuang untuk sampai pada ayah. Kakiku gemetar. Napasku ku atur hingga tak tegang lagi. Aku menguatkan diri, demi ayah.
Ayah menangis dihadapanku, saat aku sampai padanya dengan perlahan. Ayah mencium tanganku, memelukku erat. Dia bahagia melihat perkembanganku yang sangat pesat dalam seminggu ini.

“Jang. .an menangis. . . a. .ayah” Aku menghapus air matanya yang berjatuhan dipipinya.
Aku memeluknya.
“Ayha sayang ayah…”

Kata itu merupakan kata terakhir sebelum aku jatuh pingsan.
Ayah terlihat begitu panic dan khawatir, saat melihatku jatuh lemas dihadapannya.
Dia berlari menggendongku. Menuju rumah sakit. Jarak dari rumahku hingga rumah sakit sangat jauh, dan ayah hanya menggendongku. Ia berkali – kali ditawari naik ojeg, tapi ia enggan.
Ayah, aku sangat kagum pada ayah. Aku sangat mencintai ayah dengan ketulusan ayah mencintai anak yang sangat kekurangan seperti ku.

Saat mataku terbuka, aku melihat tante Friska disampingku. Dan aku tak melihat ayah.
“Ayha sayang, akhirnya kamu terbangun juga. Kamu tahu? Kamu sudah tidur layaknya puteri tidur. 1 minggu.” Papar tante Friska, sambil mengusap poni rambutku.
“Ayha tidur selama 1 minggu?.” Aku begitu cepat menjawab. Tanpa ada hambatan bahkan bukan perlahan lagi.
“Ayha, kamu berhasil sembuh dari sakitmu berkat ayahmu.”
“Lalu, dimana ayah? Aku merindukan ayah. Mengapa aku tak melihat ayah disini?.”
“Ayha, sebaiknya kamu simak video ini dulu. Ayahmu menitipkan ini pada tante.”
Perlahan, dengan rasa penasaran dan cemas ku saksikan video itu.

Disana, ayah berkata:
 Hi Ayha sayang, ayah sangat mencintai Ayha. Sama seperti cinta ayah pada ibu mu.
Ayha, ayah minta maaf jika ayah tak dapat membahagiakanmu. Ayah minta maaf, kalau ayah tak bisa menemanimu. Ayha puteri satu – satunya ayah, kamu harus tahu. Bahwa ayah kan pergi. Ayah sudah tua. Ayah pasti akan dipanggilNya meski ayah masih ingin menemanimu. Tapi ingat, ayah tak pernah pergi. Karena napas ayah adalah napasmu. Dan napasmu adalah napas ayah. Ayah selalu ada didalam hembusan napasmu. Ayah selalu terselip didalam denyut nadi mu. Ayha, meski ayah tak hadir disisimu, tapi tante Friska lah yang akan menemanimu. Selalu ada di sisimu.

Aku seketika memberhentikan video itu. Air mataku menetes tanpa aku paksa untuk menetes. Pilu dihatiku tak dapat ku tutupi. Aku melihat video ini seakan aku ditinggal pergi ayah selama – lamanya. Aku menyimpulkan ayah telah tiada sekarang.

“Ayha, apapun itu, sepahit apapun itu kamu harus menerimanya dengan tabah. Tante ada disini. Lihat tante. Tante sayang Ayha seperti tante menyayangi puteri tante. Ayha, anggap tante sahabat hidupmu. Anggap tante sebagai orang tua mu juga. Tante akan merawatmu hingga kamu benar – benar bisa tante lepas dan dipersunting oleh pangeran hatimu.” Tante Friska memelukku hangat.

“Tante, Ayha berjuang untuk ayah. Ayha ingin sembuh karena ayah. Sekarang, disaat Ayha sehat seperti sediakala, mengapa ayah malah meninggalkanku? Lalu, untuk apa semua perjuanganku?.”

Aku menangis sesegukan. Ir mataku membanjiri setiap sudut wajahku. Mataku sembab. Dadaku sesak. Aku teramat kehilangan malaikatku.
Aku menonton video itu sampai habis. Dan bahkan mungkin air mataku juga sudah habis menangisi ayah.
1 minggu kemudian, aku diizinkan untuk pulang oleh tante Friska. Aku keluar rumah sakit. Aku kini tinggal bersama tante Friska dengan anak dan suaminya. Mereka baik padaku, mereka memperlakukan ku seperti keluarga mereka sendiri.

Dan tepat pada hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu, hari ini aku berniat untuk pergi menziarahi makam ibu dan ayah. Sekedar bercerita tentang kehidupanku saat ini.
Kadang, aku menangis kerinduan, tapi kadang aku tersenyum bangga.
Aku bangga.
Membaca tulisan dibatu nisan itu. Aku bangga membaca nama ayah. Seorang malaikat yang telah memperjuangkan hidupku. Ayah yang berkorban untuk kesembuhanku tanpa ia sadari, tubuhnya juga semakin lemah. Jantungnya yang kumat, hingga menyebabkan ayah kehilangan kendali dan pergi menyusul ibu.

Di senja sore hari ini, aku menulis di note pemberian ayah:
“Dear Ayah. Ayah, Ayha harap; kini ayah hadir disini. Tersenyum melihatku sudah bisa menjalankan hidupku seperti dulu lagi. Saat Ayha masih ditemani ibu dan ayah disini, sewaktu dulu Ayha masih kecil. Ayah, ibu. Ayha mencintai kalian.”


Lalu, aku menerbangkannya bersama balon berwarna merah muda ke langit. Aku harap, angin itu membawa suratku untuk ayah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seharusnya Tidak Seperti Ini

Aku tidak berbohong, Ketika aku mengatakan tertarik padamu. Aku tidak menyangkal, Bahwa aku memikirkanmu. Tapi setelah terpikirkan kembali, Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Hati dapat terbolak balik. Ketika matahari terbenam, Rinduku tidak ikut membenamkan diri. Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Rasa ini terkadang berubah. Aku tidak lari. Aku tidak bersembunyi. Tapi apa yang terjadi? Saat Allah berkata jangan, Aku takkan melakukan. Aku berjaga. Aku turut diam. Bahkan ketika kamu menjauhkan diri, Meski rinduku menusuk hati, Aku tidak menuntutmu untuk berbalik. Aku tidak menyerah. Aku hanya pasrah karena Allah. Karena Allah tahu. Karena Allah sudah putuskan. Seharusnya tidak seperti ini. Dari awal angin berhembus menerbangkan dedaunan kering itu, Seharusnya aku tahu, Hatiku milikNya. Dan aku tidak pergi kearah kemana hatiku tidak mengarahkannya. Kini, tinggalah hatiku sendiri. Dan kamu, juga telah tertutup embun