Langsung ke konten utama

Aku Takut

Setiap hari,
Kamu mengetuk hati.
Semakin hari,
Hatiku terketuk.
Setiap malam tiba,
Rindu mulai membelenggu.
Menakutkan.

Setelah aku coba untuk membiasakan diri,
Aku semakin takut.
Aku takut padamu.
Ya. Aku takut.

Aku takut,
Tak bisa mengontrol hatiku sendiri.
Rindu yang merajuk,
Memintaku untuk mengintip lebih dalam tentangmu.
Rindu yang meronta,
Memaksaku untuk terus berfikir tentangmu.
Menakutkan.

Rasa yang kini tlah hadir,
Membuatku merindukanmu sepanjang waktu.
Memikirkan dirimu tanpa lelah.
Tapi saat aku tiba disuatu ruang waktu,
Aku teringat,
Manusia selalu berubah.
Manusia kadang tak dapat bertahan dalam satu perahu selamanya.
Menakutkan.

Aku takut,
Aku takut merindukanmu semakin dalam.
Aku takut kamu berubah,
Dan akhirnya, aku memalingkan wajah.
Jodoh, sampai bertemu diwaktu yang tepat.
Sampai nanti, tak ada yang perlu ku takutkan lagi.

Saat ini, aku tinggal bersama orang tua angkat ku. Tepatnya, aku tinggal di pondok pesantren sekarang.
Ceritanya panjang. Bagaimana aku bisa sampai ditempat ini. Aku tidak begitu dalam soal agama. Tapi yang jelas, aku selalu berusaha menaati segala perintah Allah SWT. Aku tak pernah goyah, Allah lah satu - satunya dihatiku.
Pacar? Bisanya seorang perempuan dihatinya ada saja nama seorang pria yang ia kagumi.
Aku tidak.
Benar tidak ada.
Aku sungguh tidak ada nama seorang pria selain orang tuaku, orang tua angkatku, keluargaku dan Allah SWT saja.
Entah mengapa, aku memang tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang pria, sampai akhirnya aku memutuskan sendiri bahwa aku juga tak ingin memiliki hubungan khusus selain pernikahan nanti.
Teman dekat? Aku hanya memiliki teman dekat perempuan. Tak ada pria. Teman pria hanyalah sebatas teman.
Semuanya benar adanya.

Saat aku sampai disini pertama kali, aku bertemu seorang pria.
Dia yang dibawa Abi dan Umi ketika aku pertama datang.
Entah dia siapa, sepertinya santri sini.
Dia santun, beretika bagus, ramah, aku tak tahu apa lagi yang bisa menggambarkannya, karena aku juga memang tidak dekat dengannya. Aku disini juga baru satu minggu. Semuanya masih baru. Semuanya masih perlu orientasi.
Dan dia memberitahuku segalanya yang aku ingin tahu. Menyenangkan.

Suatu pagi, Kita berdua tak sengaja bertemu di taman belakang masjid. Tempat paling ku sukai adalah taman belakang masjid. Kenapa? Karena pemandangan disini sangat indah, sejuk. Terlebih, disini adalah dataran tinggi. Terlihat jelas keindahan kota dari sini.
Dia tersenyum manis. Mengajakku mengobrol hal yang tidak membosankan, sehingga aku tak sadar akan tertawa lepas dengannya hanya karena candaan ringan.

“Assalamualaikum,” Sapa seseorang dari belakang kami berdua. Seorang laki – laki.

“waalaikumsalam.” Jawab kami berdua kompak. Oh, ternyata dia juga santri sini. Dia juga salah satu temanku disini. Kami bertiga sesekali menghabiskan sore bersama ditaman ini. Menyenangkan. Ketika bertemu dengan orang – orang baik, murah hati, dan aku suka mereka berdua. Mereka seolah pengobat sakit dihatiku setelah kejadian lalu. Mereka menghiburku dengan ketulusan. Menemaniku.

Begitu seterusnya persahabatan kita berjalan dengan indah. Semuanya tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan. Saat ini, aku merasa seperti aku menemukan kehidupan, aku baru saja menghirup udara segar, aku berada dalam tandu kebahagiaan.
Alhamdulillah. Terima kasih Yaa Allah.
Semakin berputarnya waktu, aku merasakan hal yang berbeda.

Aku menaruh hati pada Yusuf. Laki – laki yang ku temui pertama kali. Entah bagaimana ceritanya, aku suka dia memperlakukanku seperti ini. Aku suka dia ada dalam hidupku. Aku merindukannya saat dia tak datang menghabiskan sore seperti biasa bersama aku dan Yunus. Aku memikirkannya sampai aku juga tak paham mengapa hatiku susah aku kendalikan.

Aku menerima senyumannya, dan membalasnya dengan hati – hati. Aku kadang merasa bahwa hatiku tidak ditolaknya. Tapi separuh hatiku juga takut. Aku takut dia tidak mau menerimaku ketika dia tahu siapa aku. Aku takut dia meninggalkanku. Aku takut dia tak mampu menerima kekuranganku. Aku takut ketika aku sudah menyerahkan hatiku, dia malah pergi meninggalkanku bersama wanita lain yang lebih baik dariku.
Jelas. Banyak yang lebih baik dariku. Dia tampan, pintar, berasal dari keluarga yang berkecukupan, siapa yang tak mau dengannya?
Ketika cinta diabaikan karena status, bukankah itu hal lumrah untuk jaman modern saat ini?
Sore ini, aku duduk di bangku taman seorang diri.
Tak ada Yusuf maupun Yunus. Mereka berdua entah kemana. Mungkin sibuk. Karena mereka juga mengajar disini.

“Assalamualaikum, Syifa.” Suara itu terdengar begitu lembut.

“Waalaikumsalam.” Aku menengok ke arah dimana suara itu berasal.

“Oh, Yunus. Ada apa? Kenapa kamu lama sekali? Aku sendirian disini. Yusuf mana? Mengapa suara salammu begitu mendalam dan lembut? Tidak seperti biasanya. Aku sangka, kamu orang lain. Aku hampir saja lari.” Jawabku.

“Hei. Kamu terlihat pendiam, tapi kalau bersama seseorang yang sudah lama mengenalmu, kamu tidak bisa dikategorikan kedalam perempuan pendiam.” Timbalnya.
Aku tak menjawab. Hanya tersenyum dan kembali duduk.

“Aku tak tahu Yusuf dimana. Mengapa kamu menanyakan orang lain saat aku datang? Bukankah sudah cukup hanya aku saja?”

“Maksudmu? Kita kan bertiga dari awal. Jelas aku akan menanyakan salah satunya, ketika kita hanya berdua.”

“Kamu juga akan mencariku saat hanya Yusuf yang datang kepadamu? Jangan bohong.” Tiba – tiba pandangan dan nada bicara Yunus berubah.

“Aku akan mencarimu ketika wajahmu tidak ada dalam pandanganku juga. Kita sahabat. Tentu saja.”

“Sahabat?”

“Tentu! Sahabatku. Paling aku sayangi. Kalian.”

“Kamu tidak memendam rasa untuk Yusuf?”

Aku terkejut dengan pertanyaannya. Belum aku menjawabnya, dia sudah bertanya lagi.

“Kalau tidak, kamu tidak memiliki hati untukku?”

“Aku tak mengerti arah ucapanmu.” Aku berusaha tenang agar dia tidak tahu, bahwa sebenarnya aku memang menaruh hati untuk Yusuf.

“Jangan bohong padaku. Katakan. Kamu menaruh hati untuk Yusuf?” Tanyanya semakin intens.

“Aku tidak menaruh hati padanya.” Jawabku singkat. Agar dia tak memberiku pertanyaan lagi.

“Kalau begitu, padaku?”

“Aku menaruh hati padamu. Aku akan mengkhitbahmu.” Sambungnya. Dia membuatku tercengang dengan apa yang barusan dia ucapkan.
Aku belum menjawab apapun. Dan ketika itu, datanglah seorang perempuan dan menyiramku dengan air satu gelas.

“What are you doing?!” Yunus terkejut, sama halnya denganku.

“Kamu akan menkhitbah perempuan ini? Memang kamu sudah tahu siapa dia sebenarnya? Dia sudah mengakui semuanya dihadapanmu tanpa ada yang dia tutupi satupun?!” Dia berteriak didepan wajahku. Mendorong bahuku. Maryam. Dia bernama Maryam. Dia adalah putri sulung ustadz yang memang mengajar anak santri disini juga. Yang aku tahu, dia memang menyukai Yunus.

“Apa yang dia bicarakan, Syifa?” Tanya Yunus padaku.

“Aku akan jelaskan padamu. Nanti.”

“Nanti? Mengapa? Kamu takut dia berubah pikiran? Kamu takut dia tak jadi menikahimu dan kamu kehilangan harta karunmu?”

“Apa yang berusaha kamu ungkap? Berhenti bicara omong kosong!” Yunus berubah menjadi tak terkendali.

“Bang, aku akan jelaskan. Dan kamu, Maryam. Mengapa? Atas dasar apa kamu menghakimiku seperti ini? Apalagi kamu menuduhku menjadikan Yunus sebagai harta karun.”

“Atas dasar apa? Mengapa? Syifa, kamu tak tahu diri! Kamu hanyalah pembantu disini. Kamu mengurusi bersih – bersih masjid, rumah pemilik yayasan ini, dan kamu meminta makan disini. Bukan begitu? Kamu dibuang oleh orang tua kandungmu. Dan kamu berakhir disini. Kamu meminta – minta pada pak kiyai untuk memasukanmu pada pesantren ini, menjadikanmu budak dan memberikanmu tanggungan hidup agar kamu bertahan hidup! Kamu harus sadar diri! Kamu siapa dan Yunus siapa! Jangan berperilaku seolah kamu punya segalanya. Untuk apa kamu mendekati Yunus dan Yusuf kalau bukan menjadikan mereka harta karun seperti pak kiyai dan umi?” Maryam menyakiti hatiku. Aku tak menyangka dia akan mengeluarkan kata – kata menyakitkan seperti itu. Aku dan Maryam dekat. Sebagai teman. Dia teman perempuanku yang pertama saat aku tiba disini sampai sekarang. Dia tahu. Dia tahu ceritanya tidak sampai seperti aku akan menguras harta mereka. Cinta membuatnya tak bisa mengendalikan hati ketika hatinya cemburu.

“Maryam, mengapa kamu berkata kasar dan menyakitiku seperti ini?” Jawabku lirih. Aku tak tahu harus berkata apa didepan mereka. Maryam sudah mendorongku seperti ini.

“Mengapa? Memang kenyataan bukan?”

“Tidak. Kamu tahu yang sebenarnya terjadi. Tapi mengapa kamu bicara hal yang bukan kenyataan?”
Aku berdebat dengan Maryam. Yunus hanya tercengang dan tak mampu berkata apapun. Aku tahu, dia pasti terkejut, kecewa dan salah paham.

Aku menunduk menahan sakit hatiku. Aku tak menyangka kejadian ini akan terjadi. Aku tak meenyangka luka lama ku dibongkar dengan kasar oleh sahabat yang aku sangat sayangi. Aku paham. Aku harus mengakui diriku sebenarnya. Tapi mengapa harus dengan menyakitiku? Mengapa begitu rendahnya aku dimata mereka? Apa bedanya aku dengan mereka? Bukankah semua manusia sama saja dimata Allah? Hanya makhluk ciptaanNya yang memiliki banyak sekali kekurangan.
Aku menoleh kearah masjid, diujung sana, Yusuf mendengarkan semuanya.
Aku akhirnya dapat meyakinkan mereka dan menenangkan mereka, untuk mengobrol lebih santai lagi. Aku menjelaskan mereka bagaimana ini semua terjadi.

Berawal dari pertengkaran diantara keluarga kandungku. Keluarga kandung? Oh bukan, maksudku, aku tahu bahwa mereka yang selama ini bersamaku adalah keluarga kandungku namun ternyata tibalah suatu saat, ketika semuanya terungkap, bahwa aku bukanlah anak kandung mereka, aku hanyalah anak asuh mereka. Selama belasan tahun. Dari aku masih kecil sampai aku dewasa, aku tak tahu bahwa semua ini adalah kenyataan. Aku tak punya apa – apa. Aku diusir oleh keluargaku. Bukan oleh orang tuaku tapi oleh keluarga mereka. Aku tak tahu harus kemana. Ketika seorang anak perempuan baru berumur 19 tahun, belum punya pekerjaan karena aku memang masih sekolah, belum punya uang dan tak tahu arah, aku takut dan tak tahu harus bagaimana menghadapi semua ketetapanNya. Aku tahu Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambaNya melebihi batas kemampuannya. Dia memberikanku ujian seoerti ini, karena Dia tahu, aku sanggup melakukannya. Tapi dengan hati terluka, kecewa, masih tidak percaya akan hal ini terjadi pada diriku, aku bertem Abi dan Umi. Sang pemilik yayasan ini. Aku kenal dengan mereka sudah lama. Aku tahu mereka punya pesantren. Aku memang sengaja meminta tumpangan tempat tinggal sampai aku mampu memiliki tempat tinggal sendiri. Awalnya mereka akan mengangkatku anak, tapi aku menolak dengan hanya meminta pekerjaan apa saja untuk membantu mereka. Agar aku tidak hanya numpang tidur dan makan saja di pesantren ini. Hingga akhirnya aku bertemu teman bernama Maryam, Yunus, dan Yusuf. Maryam yang mencintai Yunus, cemburu melihatku dekat dengan Yunus. Aku bahkan tak tahu bahwa Yunus memendam rasa untukku karena aku sendiri memendam hatiku untuk Yusuf bukan Yunus. Tapi tentang hatiku, aku tak menceritakannya. Aku merahasiakanya.

Setelah kejadian itu, mereka semua berubah. Kini, soreku aku habiskan sendirian. Bahkan seharian setiap harinya, kini aku seorang diri lagi. Yunus yang termakan ucapan Maryam kala itu, yang mengatakan bahwa aku hanya menjadikannya harta karun untuk hidupku. Maryam yang mulai menjauhiku karena dia menganggap aku akan merebut perhatian Yunus darinya. Dan Yusuf, dia bungkam.

Dari hal itu, aku menyadari, aku bukanlah siapa – siapa. Aku tak pantas untuk berdiri disamping mereka sebagai sahabat. Apalagi untuk menjadi pendamping Yusuf. Aku menarik diri dari lingkungan. Aku menghindar dari siapapun, orang luar. Kini aku hanya keluar sebatas untuk membersihkan rumah abi, dan membereskan masjid. Setelah itu, aku kembali masuk kamar dan tidak keluar lagi kecuali dipanggil abi atau untuk shalat berjamaah. Aku tak memiliki komunikasi dengan siapapun. Aku menundukkan pandanganku dari semua orang.
Malu. Merasa tak ada. Itulah yang aku rasa setelah pertengkaran dengan semua sahabatku. Sesekali kami memang berpapasan tapi ketika aku akan mencoba menyapa, mereka dengan sigap bergegas menjauhiku. Begitu pula dengan pertemuanku dan Yusuf. Dia tak mengatakan apapun. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Yang jelas, aku merasa sangat tidak pantas untuk menatap matanya lagi. Dia bagaikan bulan yang jauh diatas langit dengan cahaya redup kehangatannya beserta bintang – bintang berkilau, dan aku? Aku hanyalah rumput liar yang seharusnya mereka basmi demi keindahan dan kebersihan.

Hari ini adalah hari ulang tahun Yunus. Aku tak berani keluar. Semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara untuknya. Semacam syukuran. Aku ingin sekali ikut, tapi Abi menyarankanku untuk tak usah melibatkan diri dengan mereka lagi. Aku memang menceritakan semuanya pada Abi dan Umi. Maka dari itu, mereka sekarang membatasi kegiatanku diluar.
“Bang Yunus, selamat ulang tahun. Aku merindukan kehangatan sikapmu padaku. Aku harap, semua yang kau mau Allah kabulkan dengan mudah. Aku menyayangimu. Aku merindukanmu.” Aku mengucapkan selamat padanya, sesaat ketika aku melihatnya berdiri didepan jendela kamarku. Ya, kamarku berada tepat di depan. Aku dapat melihatnya dari balik jendela yang tertutup kain sedikit. Dia terlihat sehat, dengan senyuman bahagianya. Aku merindukan kehangatan sikapnya yang dulu. Bang, selamat ulang tahun!

Tanpa ku sadari, air mataku mengalir mengingat kenangan itu. Terasa sangat indah. Hari – hariku saat ini begitu berbeda, ketika kami semua berpisah. Aku dengan cepat menutup kain jendelaku, saat Yunus mendapati aku sedang melihatnya.

Ingin rasanya, aku berlari dan berdiri kehadapannya, mengucapkan selamat ulang tahun padanya dengan gembira, tapi itu hanyalah keinginan yang tak akan menjadi nyata, hanya akan menyakitiku, semakin aku menginginkannya.

“Syifa,” Seru Umi dari balik pintu kamarku.

Umi mengajakku keluar. Dia memintaku untuk menemaninya berbelanja. Karena dua hari lagi akan ada acara khatam quran untuk santri muda yang baru saja khatam quran.
Tepat di depan parkiran, aku bertemu Yunus dan Yusuf. Umi berhenti tepat dihadapan mereka dan menggenggam tanganku.

“Yusuf, selamat ulang tahun. Semoga Allah mengabulkan semua doamu, menjadikanmu pribadi yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.” Umi tersenyum manis pada mereka berdua. Aku hanya menunduk tak berani mengangkat kepalaku. Aku memang tidak merasa ucapan Maryam benar, tapi aku merasa bukanlah apa – apa yang tidak pantas untuk menatap mata mereka lagi.

“Terima kasih, Umi. Aamiin.” Jawab Yusuf. Seperti biasa, suaranya terdengar begitu lembut dan hangat.

“Aamiin, Umi.” Tiba – tiba Yunus juga menimbal balik ucapan Umi.
Berkat umi, aku bisa mendengar suara mereka berdua. Aku sangat merindukan mereka berdua.

“Syifa, kamu juga harus memberikannya doa.” Umi mendongkak dagu ku, hingga aku bisa melihat dengan jelas mereka berdua.

“Selamat ulang tahun, Bang Yunus. Aku ...” Belum sempat aku mengungkapkan perkataan yang sedari tadi ingin aku utarakan, Abi datang menghampiri kami.

“Syifa! Sedang apa kamu?” Abi terdengar sangat marah melihatku berkomunikasi lagi dengan mereka.

“Tidak, Bi. Umi meminta Syifa menemani Umi untuk berbelanja, dan bertemu Yunus yang sedang berulang tahun. Umi meminta Syifa untuk mengucapkan selamat dan memberikan Yunus harapannya.” Umi menjelaskannya dengan santai.

“Masuk kamar, sekarang! Umi, pergilah dengan Aisyah. Dia sudah menunggu Umi dimobil. Syifa harus masuk. Dia harus beristirahat dan merapikan barangnya untuk ikut pergi. Abi sudah siapkan paspornya tadi pagi.” Pernyataan Abi mengejutkanku, tapi tidak dengan dua orang sahabatku ini. Mereka terlihat seakan tidak peduli padaku lagi.

“Baiklah. Syifa, kamu bereskan barangmu, nanti Umi bantu sepulangnya dari belanja.”

“Iya, Umi. Assalamualaikum.”
Aku pergi tanpa melanjutkan perkataanku untuk Yunus. Bahkan aku tak bisa menatap Yusuf. Batinku tersiksa. Sakit sekali. Aku merindukan mereka berdua.

Sudah enam bulan aku meninggalkan pesantren. Kini, aku tinggal di Mesir. Abi memintaku untuk kembali meneruskan pendidikanku, agar aku tidak terpuruk akibat kejadian kala itu. Aku sangat berterima kasih kepada Abi dan Umi yang telah memikirkanku sampai pada titik ini. Mereka adalah orang tua bagiku. Mereka adalah malaikat nyata yang menggenggam tanganku. Disini, tidak buruk. Aku baik – baik saja. Dan pendidikanku lancar. Alhamdulillah, aku juga sudah tidak terjebak dalam masalah masa lalu ku. Besok, aku akan kembali ke pesantren untuk menghadiri pernikahan Aisyah. Aku mengambil cuti untuk semester ini. Karena tak mungkin izin begitu lama, jadi aku memutuskan untuk mengambil cuti dan meneruskannya tahun depan di semester berikutnya.
Melegakan, akhirnya aku bisa kembali dan berkumpul dengan orang – orang yang ku sayangi.

“Syifa!” Seru Aisyah saat aku baru saja turun dari taxi di depan pesantren.

“Oh, aku merindukanmu! Kamu pulang? Mengapa? Bagaimana kuliahmu? Kabarmu bagaimana? Baik? Sepertinya tidak terlalu buruk.” Sambungnya.

“Ah, beri aku kesempatan untuk menjawab.” Aku membalas pertanyaanya dengan candaan. Kami berdua memang dekat. Aisyah lebih tua dariku 1 tahun. Tapi dia tak mau dipanggil kakak. Dia anak kedua Abi dan Umi yang akan melangsungkan pernikahan bulan depan. Aku datang memang untuk membantunya menyiapkan segala sesuatunya, dan berada disampingnya untuk acara spesialnya.
Aku belum bertemu Abi dan Umi, kabarnya mereka sedang diluar kota untuk perjalanan bisnis. Namun, aku tlah menghubungi mereka bahwa aku tlah sampai di pesantren dengan selamat. Jadi mereka tak perlu mengkhawatirkan aku.

Sore hari, aku kembali mengunjungi taman dibelakang masjid. Masih sama. Semuanya masih tampak sama. Sejuk, tenang, dan indah.
15 menit aku duduk dibangku taman, aku merindukan mereka. Andai hari bisa diputar, aku ingin kembali dihari dimana aku dan mereka belum betengkar, aku ingin memperbaikinya. Mungkin, sudah terlalu lama dan terlambat. Kini, aku hanya perlu melanjutkan hidupku dan berdoa agar mereka hidup bahagia juga.
Aku hendak beranjak dari taman, aku berbalik, dan aku menemukannya.
Dia berdiri dan memandangi ku dari ujung jalan menuju taman. Tidak jauh, bahkan aku bisa melihat tatapan hangatnya yang sudah ku rindukan. Ingin aku menapanya dengan riang seperti dulu, ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan padanya, keluh kesah seperti dulu, tapi sepertinya aku tak bisa lagi. Aku tersenyum, memberi salam dan menunduk. Tanganku gemetar. Hatiku bimbang, antara bahagia dan sedih. Aku bahagia, aku bisa bertemu dengannya lagi. Tapi aku juga sedih, karena kenyataannya sudah berbeda. Aku menahan air mata.
Namun, aku mendengar suara hentakan kaki orang berlari.
Ya. Dia berlari menghampiriku. Dia memelukku tanpa sepatah katapun terucap. Dia mengeratkan dekapannya. Mengelus kepalaku dibalik jilbabku.
Aku terkejut. Entah aku ingin melepaskan pelukannya atau ingin memeluknya juga.

“Lepaskan aku. Ini pesantren. Dan kita bukan muhrim.” Pintaku sembari mendorong dada bidangnya yang melekat padaku. Tapi dia tidak menjawabku dan menahan doronganku.

“Tolong. Ini sudah diluar batas.”
Akhirnya, dia melepaskan pelukannya. Tatapan matanya berubah menjadi tajam. Dia menatapku intens. Tangannya mencengkram kedua lenganku dengan kuat.

“Sakit. Tolong, lepaskan aku.”

“Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja? Lagi? Kamu akan pergi lagi? Kemana kamu pergi?” Ini pertama kalinya Yunus berkata dengan nada tinggi. Oh bukan, bahkan dia membentakku.

“Kamu tahu betapa lelahnya aku menunggumu? Kamu tidak tahu bagaimana sakitnya menahan rindu pada seseorang yang kamu cintai! Yang lebih menyedihkan lagi, aku bahkan tak tahu apa dia akan kembali atau tidak, kemana dia pergi, mengapa, dan apa dia merindukanku juga? Aku hampir menyerah!” Sambungnya yang masih berteriak didepanku.
Aku tak tahu kapan air mataku mengalir. Kini, aku tak dapat menahan air mataku lebih lama lagi.

“Aku tahu.”

“Apa yang kamu tahu? Bahkan berpikir untuk memberiku kabar saja tidak ada, bukan?”

“Aku minta maaf, aku tak bisa memberikanmu kabar.”

“Sayang, aku bukan sedang memintamu memohon maaf padaku.”
Panggilannya? Aku terkejut. Aku membuka mataku ketika mendengarnya. Aku tahu, Yunus. Aku masih ingat dia pernah mengatakan ingin menikahiku. Tapi aku tak tahu, bahwa sampai detik ini dia masih sama. Hatinya masih tertuju padaku. Aku tak menyangka akan sampai sejauh ini. Aku tak tahu bagaimana hatiku. Aku tak bisa mengontrol hatiku. Yang aku tahu, hatiku takut.

“Aku minta maaf, membuatmu marah. Tapi aku juga tak mampu menentang Abi. Dia memintaku mengambil kuliah dan menetap di pesantren temannya di Mesir. Sekarang aku mengambil cuti. Aku ingin mendampingi Aisyah sampai hari pernikahannya. Dan aku akan kembali kesana setelah urusan Aisyah selesai. Kamu tak perlu mengkhawatirkan aku. Aku baik – baik saja. Jika kamu memang lelah menungguku, aku minta maaf, jangan menungguku.” Jelasku dan melangkah mundur 1 langkah darinya. Dan beranjak pergi.

“Yusuf. Yang akan menikah dengan Aisyah adalah Yusuf.” Belum jauh, Yunus kembali bicara.

“Aku tahu.”
Aku memang tahu bahwa Aisyah akan dinikahi Yusuf. Namun, itu tak mempengaruhiku. Dulu, aku memang sempat menaruh hatiku untuknya, aku menilai dia pria yang pantas untuk dimiliki. Dan jika memang sekarang dia dengan Aisyah, aku sangat berterima kasih dan bersyukur. Aisyah mendapatkan suami yang tepat.
Malam ini, ada pertemuan antara keluarga Yusuf dengan Abi dan Umi. Aku sengaja memilih duduk melihat langit di bangku taman. Aku tak ingin mengganggu mereka. Aku tlah bertemu dengan Yusuf. Dia masih sama, ramah. Ku kira, amarahnya saat konflik itu sudah ia lupakan.
Belum lama aku disini, aku mendengar suara sseorang datang.

“Duduk. Jangan menghindariku terus.” Yusuf kembali. Sepertinya amarahnya sudah mereda.

“Sudah tenang?” Tanyaku.

“Huh?”

“Tadi amarahmu meledak. Sekarang bagaimana? Sudah tenang?”

“Aku marah karena aku mengkhawatirkanmu.”

“Aku baik. Semuanya lancar. Buktinya aku sekarang disini. Dan kamu bisa lihat, aku masih sama. Aku tak luka atau apapun.”

“Aku tahu kabarmu baik. Hatimu?”

“Huh?” kini, giliranku yang tak mengerti arah pembicaraannya.

“Bagaimana hatimu?”

“Dari awal hingga saat ini, pemilik hatiku masih sama. Tidak berubah.” Jawabku sambil tersenyum.

“Siapa? Kapan dia mengambil hatimu dariku?”
Pertanyaan Yusuf selalu membuatku tak tahu ingin menjawab apa. Bahkan untuk memikirkannya saja aku bingung apa yang sebenarnya ingin dia tegaskan.

“Mengambil darimu?”

“Ya. Siapa laki – laki yang berani mengambil hatimu saat aku tak ada disampingmu?”

“Dari awal hingga saat ini, Allah pemilik hatiku. Sejak kapan hatiku milikmu? Mengapa kamu memakai kata ‘mengambil hatimu dariku’?”

“Harus berapa kali aku katakan? Aku mencintaimu. Bahkan aku sudah mengatakan bahwa aku akan menikahimu, tapi kamu malah pergi tanpa memberitahuku. Aku menunggumu setiap hari. Aku berharap kamu kembali dan tidak mengkhianatiku. Aku merindukanmu. Bahkan sampai detik ini. Apa masih kurang jelas perkataanku?”

“Aku hanya takut. Aku tak berani. Aku takut, ketika aku memilih hatimu, kamu akan mudah berpaling dan meninggalkanku. Janji manusia selalu ingkar. Memang awalnya meyakinkan dan membahagiakan, tapi selalu berakhir menyakitkan. Yang aku tahu, hati manusia selalu berubah. Aku takut kamu berubah. Aku lebih memilih diam. Aku takut kamu juga tak mau menerimaku apa adanya, apalagi setelah kejadian waktu itu.” Jelasku.

“Aku mencintaimu. Dan akan selalu begitu.”
Obrolan malam itu berlanjut. Semakin merajuk pada keseriusan Yunus padaku. Tapi dia tetap memberikanku ruang, tidak memaksaku, tapi dia juga tidak melepaskanku.
Kemanapun aku pergi, apa yang aku lakukan, dia selalu melihatku dari kejauhan. Terkadang, dia membantuku.
Saatnya tiba. Pernikahan Aisyah dan Yunus dilangsungkan.
Dan pada saat itu juga, Yusuf hadir dengan keluarganya dan melamarku.
Abi dan Umi terlihat bahagia. Begitupun aku. Bagaimana tidak? Allah telah melabuhkan hatiku pada hati yang tepat. Kekhawatiranku akan hatinya yang akan berpaling tidaklah menjadi nyata. Yusuf tak berubah. Dia memegang janjinya. Dia merangkul hatiku tanpa melihat kekuranganku. Dia menjaga rindu ketika aku tiada dalam pandangannya, hingga akhirnya dia benar – benar melangkah mendekat padaku tanpa ada keraguan.

Terima kasih, Allah.


**
Alhamdulillah, akhirnya cerpen ini selesai! 
Mungkin readers udah pernah baca ya bagian awal,
awalnya memang cerita ini aku mau dibagi dua bagian. Bagian pertama judul cerpennya 'cinta'
tapi berubah pikiran >_< (maklum labil mode on)
Ini anggap aja full version. O_O
tapi bener full kok. Udah ending! hihi
Selamat membaca~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seharusnya Tidak Seperti Ini

Aku tidak berbohong, Ketika aku mengatakan tertarik padamu. Aku tidak menyangkal, Bahwa aku memikirkanmu. Tapi setelah terpikirkan kembali, Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Hati dapat terbolak balik. Ketika matahari terbenam, Rinduku tidak ikut membenamkan diri. Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Rasa ini terkadang berubah. Aku tidak lari. Aku tidak bersembunyi. Tapi apa yang terjadi? Saat Allah berkata jangan, Aku takkan melakukan. Aku berjaga. Aku turut diam. Bahkan ketika kamu menjauhkan diri, Meski rinduku menusuk hati, Aku tidak menuntutmu untuk berbalik. Aku tidak menyerah. Aku hanya pasrah karena Allah. Karena Allah tahu. Karena Allah sudah putuskan. Seharusnya tidak seperti ini. Dari awal angin berhembus menerbangkan dedaunan kering itu, Seharusnya aku tahu, Hatiku milikNya. Dan aku tidak pergi kearah kemana hatiku tidak mengarahkannya. Kini, tinggalah hatiku sendiri. Dan kamu, juga telah tertutup embun