Setiap hari,
Kamu mengetuk hati.
Semakin hari,
Hatiku terketuk.
Setiap malam tiba,
Rindu mulai membelenggu.
Menakutkan.
Setelah aku coba untuk membiasakan diri,
Aku semakin takut.
Aku takut padamu.
Ya. Aku takut.
Aku takut,
Tak bisa mengontrol hatiku sendiri.
Rindu yang merajuk,
Memintaku untuk mengintip lebih dalam tentangmu.
Rindu yang meronta,
Memaksaku untuk terus berfikir tentangmu.
Menakutkan.
Rasa yang kini tlah hadir,
Membuatku merindukanmu sepanjang waktu.
Memikirkan dirimu tanpa lelah.
Tapi saat aku tiba disuatu ruang waktu,
Aku teringat,
Manusia selalu berubah.
Manusia kadang tak dapat bertahan dalam satu perahu selamanya.
Menakutkan.
Aku takut,
Aku takut merindukanmu semakin dalam.
Aku takut kamu berubah,
Dan akhirnya, aku memalingkan wajah.
Jodoh, sampai bertemu diwaktu yang tepat.
Sampai nanti, tak ada yang perlu ku takutkan lagi.
Kamu mengetuk hati.
Semakin hari,
Hatiku terketuk.
Setiap malam tiba,
Rindu mulai membelenggu.
Menakutkan.
Setelah aku coba untuk membiasakan diri,
Aku semakin takut.
Aku takut padamu.
Ya. Aku takut.
Aku takut,
Tak bisa mengontrol hatiku sendiri.
Rindu yang merajuk,
Memintaku untuk mengintip lebih dalam tentangmu.
Rindu yang meronta,
Memaksaku untuk terus berfikir tentangmu.
Menakutkan.
Rasa yang kini tlah hadir,
Membuatku merindukanmu sepanjang waktu.
Memikirkan dirimu tanpa lelah.
Tapi saat aku tiba disuatu ruang waktu,
Aku teringat,
Manusia selalu berubah.
Manusia kadang tak dapat bertahan dalam satu perahu selamanya.
Menakutkan.
Aku takut,
Aku takut merindukanmu semakin dalam.
Aku takut kamu berubah,
Dan akhirnya, aku memalingkan wajah.
Jodoh, sampai bertemu diwaktu yang tepat.
Sampai nanti, tak ada yang perlu ku takutkan lagi.
Saat ini, aku tinggal bersama orang tua angkat ku. Tepatnya,
aku tinggal di pondok pesantren sekarang.
Ceritanya
panjang. Bagaimana aku bisa sampai ditempat ini. Aku tidak begitu dalam soal
agama. Tapi yang jelas, aku selalu berusaha menaati segala perintah Allah SWT.
Aku tak pernah goyah, Allah lah satu - satunya dihatiku.
Pacar?
Bisanya seorang perempuan dihatinya ada saja nama seorang pria yang ia kagumi.
Aku
tidak.
Benar
tidak ada.
Aku
sungguh tidak ada nama seorang pria selain orang tuaku, orang tua angkatku,
keluargaku dan Allah SWT saja.
Entah
mengapa, aku memang tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang pria,
sampai akhirnya aku memutuskan sendiri bahwa aku juga tak ingin memiliki
hubungan khusus selain pernikahan nanti.
Teman
dekat? Aku hanya memiliki teman dekat perempuan. Tak ada pria. Teman pria
hanyalah sebatas teman.
Semuanya benar adanya.
Semuanya benar adanya.
Saat aku sampai disini pertama kali, aku bertemu seorang
pria.
Dia yang dibawa Abi dan Umi ketika aku pertama datang.
Dia yang dibawa Abi dan Umi ketika aku pertama datang.
Entah
dia siapa, sepertinya santri sini.
Dia
santun, beretika bagus, ramah, aku tak tahu apa lagi yang bisa
menggambarkannya, karena aku juga memang tidak dekat dengannya. Aku disini juga
baru satu minggu. Semuanya masih baru. Semuanya masih perlu orientasi.
Dan
dia memberitahuku segalanya yang aku ingin tahu. Menyenangkan.
Suatu pagi, Kita berdua tak sengaja bertemu di taman
belakang masjid. Tempat paling ku sukai adalah taman belakang masjid. Kenapa?
Karena pemandangan disini sangat indah, sejuk. Terlebih, disini adalah dataran
tinggi. Terlihat jelas keindahan kota dari sini.
Dia
tersenyum manis. Mengajakku mengobrol hal yang tidak membosankan, sehingga aku
tak sadar akan tertawa lepas dengannya hanya karena candaan ringan.
“Assalamualaikum,”
Sapa seseorang dari belakang kami berdua. Seorang laki – laki.
“waalaikumsalam.”
Jawab kami berdua kompak. Oh, ternyata dia juga santri sini. Dia juga salah
satu temanku disini. Kami bertiga sesekali menghabiskan sore bersama ditaman
ini. Menyenangkan. Ketika bertemu dengan orang – orang baik, murah hati, dan
aku suka mereka berdua. Mereka seolah pengobat sakit dihatiku setelah kejadian
lalu. Mereka menghiburku dengan ketulusan. Menemaniku.
Begitu seterusnya persahabatan kita berjalan dengan indah.
Semuanya tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan. Saat ini, aku merasa
seperti aku menemukan kehidupan, aku baru saja menghirup udara segar, aku
berada dalam tandu kebahagiaan.
Alhamdulillah.
Terima kasih Yaa Allah.
Semakin
berputarnya waktu, aku merasakan hal yang berbeda.
Aku menaruh hati pada Yusuf. Laki – laki yang ku temui
pertama kali. Entah bagaimana ceritanya, aku suka dia memperlakukanku seperti
ini. Aku suka dia ada dalam hidupku. Aku merindukannya saat dia tak datang
menghabiskan sore seperti biasa bersama aku dan Yunus. Aku memikirkannya sampai
aku juga tak paham mengapa hatiku susah aku kendalikan.
Aku menerima senyumannya, dan membalasnya dengan hati –
hati. Aku kadang merasa bahwa hatiku tidak ditolaknya. Tapi separuh hatiku juga
takut. Aku takut dia tidak mau menerimaku ketika dia tahu siapa aku. Aku takut
dia meninggalkanku. Aku takut dia tak mampu menerima kekuranganku. Aku takut
ketika aku sudah menyerahkan hatiku, dia malah pergi meninggalkanku bersama
wanita lain yang lebih baik dariku.
Jelas.
Banyak yang lebih baik dariku. Dia tampan, pintar, berasal dari keluarga yang berkecukupan,
siapa yang tak mau dengannya?
Ketika
cinta diabaikan karena status, bukankah itu hal lumrah untuk jaman modern saat
ini?
Sore
ini, aku duduk di bangku taman seorang diri.
Tak
ada Yusuf maupun Yunus. Mereka berdua entah kemana. Mungkin sibuk. Karena
mereka juga mengajar disini.
“Assalamualaikum,
Syifa.” Suara itu terdengar begitu lembut.
“Waalaikumsalam.”
Aku menengok ke arah dimana suara itu berasal.
“Oh,
Yunus. Ada apa? Kenapa kamu lama sekali? Aku sendirian disini. Yusuf mana? Mengapa
suara salammu begitu mendalam dan lembut? Tidak seperti biasanya. Aku sangka,
kamu orang lain. Aku hampir saja lari.” Jawabku.
“Hei.
Kamu terlihat pendiam, tapi kalau bersama seseorang yang sudah lama mengenalmu,
kamu tidak bisa dikategorikan kedalam perempuan pendiam.” Timbalnya.
Aku
tak menjawab. Hanya tersenyum dan kembali duduk.
“Aku
tak tahu Yusuf dimana. Mengapa kamu menanyakan orang lain saat aku datang?
Bukankah sudah cukup hanya aku saja?”
“Maksudmu?
Kita kan bertiga dari awal. Jelas aku akan menanyakan salah satunya, ketika
kita hanya berdua.”
“Kamu
juga akan mencariku saat hanya Yusuf yang datang kepadamu? Jangan bohong.” Tiba
– tiba pandangan dan nada bicara Yunus berubah.
“Aku
akan mencarimu ketika wajahmu tidak ada dalam pandanganku juga. Kita sahabat.
Tentu saja.”
“Sahabat?”
“Tentu!
Sahabatku. Paling aku sayangi. Kalian.”
“Kamu
tidak memendam rasa untuk Yusuf?”
Aku
terkejut dengan pertanyaannya. Belum aku menjawabnya, dia sudah bertanya lagi.
“Kalau
tidak, kamu tidak memiliki hati untukku?”
“Aku
tak mengerti arah ucapanmu.” Aku berusaha tenang agar dia tidak tahu, bahwa
sebenarnya aku memang menaruh hati untuk Yusuf.
“Jangan
bohong padaku. Katakan. Kamu menaruh hati untuk Yusuf?” Tanyanya semakin intens.
“Aku
tidak menaruh hati padanya.” Jawabku singkat. Agar dia tak memberiku pertanyaan
lagi.
“Kalau
begitu, padaku?”
“Aku
menaruh hati padamu. Aku akan mengkhitbahmu.” Sambungnya. Dia membuatku
tercengang dengan apa yang barusan dia ucapkan.
Aku
belum menjawab apapun. Dan ketika itu, datanglah seorang perempuan dan
menyiramku dengan air satu gelas.
“What
are you doing?!” Yunus terkejut, sama halnya denganku.
“Kamu
akan menkhitbah perempuan ini? Memang kamu sudah tahu siapa dia sebenarnya? Dia
sudah mengakui semuanya dihadapanmu tanpa ada yang dia tutupi satupun?!” Dia
berteriak didepan wajahku. Mendorong bahuku. Maryam. Dia bernama Maryam. Dia
adalah putri sulung ustadz yang memang mengajar anak santri disini juga. Yang
aku tahu, dia memang menyukai Yunus.
“Apa
yang dia bicarakan, Syifa?” Tanya Yunus padaku.
“Aku
akan jelaskan padamu. Nanti.”
“Nanti?
Mengapa? Kamu takut dia berubah pikiran? Kamu takut dia tak jadi menikahimu dan
kamu kehilangan harta karunmu?”
“Apa
yang berusaha kamu ungkap? Berhenti bicara omong kosong!” Yunus berubah menjadi
tak terkendali.
“Bang,
aku akan jelaskan. Dan kamu, Maryam. Mengapa? Atas dasar apa kamu menghakimiku
seperti ini? Apalagi kamu menuduhku menjadikan Yunus sebagai harta karun.”
“Atas
dasar apa? Mengapa? Syifa, kamu tak tahu diri! Kamu hanyalah pembantu disini.
Kamu mengurusi bersih – bersih masjid, rumah pemilik yayasan ini, dan kamu
meminta makan disini. Bukan begitu? Kamu dibuang oleh orang tua kandungmu. Dan
kamu berakhir disini. Kamu meminta – minta pada pak kiyai untuk memasukanmu
pada pesantren ini, menjadikanmu budak dan memberikanmu tanggungan hidup agar
kamu bertahan hidup! Kamu harus sadar diri! Kamu siapa dan Yunus siapa! Jangan
berperilaku seolah kamu punya segalanya. Untuk apa kamu mendekati Yunus dan
Yusuf kalau bukan menjadikan mereka harta karun seperti pak kiyai dan umi?”
Maryam menyakiti hatiku. Aku tak menyangka dia akan mengeluarkan kata – kata
menyakitkan seperti itu. Aku dan Maryam dekat. Sebagai teman. Dia teman
perempuanku yang pertama saat aku tiba disini sampai sekarang. Dia tahu. Dia tahu
ceritanya tidak sampai seperti aku akan menguras harta mereka. Cinta membuatnya
tak bisa mengendalikan hati ketika hatinya cemburu.
“Maryam,
mengapa kamu berkata kasar dan menyakitiku seperti ini?” Jawabku lirih. Aku tak
tahu harus berkata apa didepan mereka. Maryam sudah mendorongku seperti ini.
“Mengapa?
Memang kenyataan bukan?”
“Tidak.
Kamu tahu yang sebenarnya terjadi. Tapi mengapa kamu bicara hal yang bukan
kenyataan?”
Aku
berdebat dengan Maryam. Yunus hanya tercengang dan tak mampu berkata apapun. Aku
tahu, dia pasti terkejut, kecewa dan salah paham.
Aku menunduk menahan sakit hatiku. Aku tak menyangka
kejadian ini akan terjadi. Aku tak meenyangka luka lama ku dibongkar dengan
kasar oleh sahabat yang aku sangat sayangi. Aku paham. Aku harus mengakui
diriku sebenarnya. Tapi mengapa harus dengan menyakitiku? Mengapa begitu
rendahnya aku dimata mereka? Apa bedanya aku dengan mereka? Bukankah semua
manusia sama saja dimata Allah? Hanya makhluk ciptaanNya yang memiliki banyak
sekali kekurangan.
Aku
menoleh kearah masjid, diujung sana, Yusuf mendengarkan semuanya.
Aku
akhirnya dapat meyakinkan mereka dan menenangkan mereka, untuk mengobrol lebih
santai lagi. Aku menjelaskan mereka bagaimana ini semua terjadi.
Berawal dari pertengkaran diantara keluarga kandungku.
Keluarga kandung? Oh bukan, maksudku, aku tahu bahwa mereka yang selama ini
bersamaku adalah keluarga kandungku namun ternyata tibalah suatu saat, ketika
semuanya terungkap, bahwa aku bukanlah anak kandung mereka, aku hanyalah anak
asuh mereka. Selama belasan tahun. Dari aku masih kecil sampai aku dewasa, aku
tak tahu bahwa semua ini adalah kenyataan. Aku tak punya apa – apa. Aku diusir
oleh keluargaku. Bukan oleh orang tuaku tapi oleh keluarga mereka. Aku tak tahu
harus kemana. Ketika seorang anak perempuan baru berumur 19 tahun, belum punya
pekerjaan karena aku memang masih sekolah, belum punya uang dan tak tahu arah,
aku takut dan tak tahu harus bagaimana menghadapi semua ketetapanNya. Aku tahu
Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hambaNya melebihi batas kemampuannya.
Dia memberikanku ujian seoerti ini, karena Dia tahu, aku sanggup melakukannya.
Tapi dengan hati terluka, kecewa, masih tidak percaya akan hal ini terjadi pada
diriku, aku bertem Abi dan Umi. Sang pemilik yayasan ini. Aku kenal dengan
mereka sudah lama. Aku tahu mereka punya pesantren. Aku memang sengaja meminta
tumpangan tempat tinggal sampai aku mampu memiliki tempat tinggal sendiri.
Awalnya mereka akan mengangkatku anak, tapi aku menolak dengan hanya meminta
pekerjaan apa saja untuk membantu mereka. Agar aku tidak hanya numpang tidur
dan makan saja di pesantren ini. Hingga akhirnya aku bertemu teman bernama
Maryam, Yunus, dan Yusuf. Maryam yang mencintai Yunus, cemburu melihatku dekat
dengan Yunus. Aku bahkan tak tahu bahwa Yunus memendam rasa untukku karena aku
sendiri memendam hatiku untuk Yusuf bukan Yunus. Tapi tentang hatiku, aku tak
menceritakannya. Aku merahasiakanya.
Setelah kejadian itu, mereka semua berubah. Kini, soreku aku
habiskan sendirian. Bahkan seharian setiap harinya, kini aku seorang diri lagi.
Yunus yang termakan ucapan Maryam kala itu, yang mengatakan bahwa aku hanya
menjadikannya harta karun untuk hidupku. Maryam yang mulai menjauhiku karena
dia menganggap aku akan merebut perhatian Yunus darinya. Dan Yusuf, dia
bungkam.
Dari hal itu, aku menyadari, aku bukanlah siapa – siapa. Aku
tak pantas untuk berdiri disamping mereka sebagai sahabat. Apalagi untuk
menjadi pendamping Yusuf. Aku menarik diri dari lingkungan. Aku menghindar dari
siapapun, orang luar. Kini aku hanya keluar sebatas untuk membersihkan rumah
abi, dan membereskan masjid. Setelah itu, aku kembali masuk kamar dan tidak
keluar lagi kecuali dipanggil abi atau untuk shalat berjamaah. Aku tak memiliki
komunikasi dengan siapapun. Aku menundukkan pandanganku dari semua orang.
Malu.
Merasa tak ada. Itulah yang aku rasa setelah pertengkaran dengan semua
sahabatku. Sesekali kami memang berpapasan tapi ketika aku akan mencoba
menyapa, mereka dengan sigap bergegas menjauhiku. Begitu pula dengan
pertemuanku dan Yusuf. Dia tak mengatakan apapun. Aku tak tahu apa yang ia
pikirkan. Yang jelas, aku merasa sangat tidak pantas untuk menatap matanya
lagi. Dia bagaikan bulan yang jauh diatas langit dengan cahaya redup
kehangatannya beserta bintang – bintang berkilau, dan aku? Aku hanyalah rumput
liar yang seharusnya mereka basmi demi keindahan dan kebersihan.
Hari ini adalah hari ulang tahun Yunus. Aku tak berani
keluar. Semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara untuknya. Semacam
syukuran. Aku ingin sekali ikut, tapi Abi menyarankanku untuk tak usah
melibatkan diri dengan mereka lagi. Aku memang menceritakan semuanya pada Abi
dan Umi. Maka dari itu, mereka sekarang membatasi kegiatanku diluar.
“Bang
Yunus, selamat ulang tahun. Aku merindukan kehangatan sikapmu padaku. Aku
harap, semua yang kau mau Allah kabulkan dengan mudah. Aku menyayangimu. Aku
merindukanmu.” Aku mengucapkan selamat padanya, sesaat ketika aku melihatnya
berdiri didepan jendela kamarku. Ya, kamarku berada tepat di depan. Aku dapat
melihatnya dari balik jendela yang tertutup kain sedikit. Dia terlihat sehat,
dengan senyuman bahagianya. Aku merindukan kehangatan sikapnya yang dulu. Bang,
selamat ulang tahun!
Tanpa ku sadari, air mataku mengalir mengingat kenangan itu.
Terasa sangat indah. Hari – hariku saat ini begitu berbeda, ketika kami semua
berpisah. Aku dengan cepat menutup kain jendelaku, saat Yunus mendapati aku
sedang melihatnya.
Ingin rasanya, aku berlari dan berdiri kehadapannya,
mengucapkan selamat ulang tahun padanya dengan gembira, tapi itu hanyalah
keinginan yang tak akan menjadi nyata, hanya akan menyakitiku, semakin aku
menginginkannya.
“Syifa,”
Seru Umi dari balik pintu kamarku.
Umi
mengajakku keluar. Dia memintaku untuk menemaninya berbelanja. Karena dua hari
lagi akan ada acara khatam quran untuk santri muda yang baru saja khatam quran.
Tepat
di depan parkiran, aku bertemu Yunus dan Yusuf. Umi berhenti tepat dihadapan
mereka dan menggenggam tanganku.
“Yusuf,
selamat ulang tahun. Semoga Allah mengabulkan semua doamu, menjadikanmu pribadi
yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.” Umi tersenyum manis pada mereka
berdua. Aku hanya menunduk tak berani mengangkat kepalaku. Aku memang tidak
merasa ucapan Maryam benar, tapi aku merasa bukanlah apa – apa yang tidak
pantas untuk menatap mata mereka lagi.
“Terima
kasih, Umi. Aamiin.” Jawab Yusuf. Seperti biasa, suaranya terdengar begitu
lembut dan hangat.
“Aamiin,
Umi.” Tiba – tiba Yunus juga menimbal balik ucapan Umi.
Berkat
umi, aku bisa mendengar suara mereka berdua. Aku sangat merindukan mereka
berdua.
“Syifa,
kamu juga harus memberikannya doa.” Umi mendongkak dagu ku, hingga aku bisa
melihat dengan jelas mereka berdua.
“Selamat
ulang tahun, Bang Yunus. Aku ...” Belum sempat aku mengungkapkan perkataan yang
sedari tadi ingin aku utarakan, Abi datang menghampiri kami.
“Syifa!
Sedang apa kamu?” Abi terdengar sangat marah melihatku berkomunikasi lagi
dengan mereka.
“Tidak,
Bi. Umi meminta Syifa menemani Umi untuk berbelanja, dan bertemu Yunus yang
sedang berulang tahun. Umi meminta Syifa untuk mengucapkan selamat dan
memberikan Yunus harapannya.” Umi menjelaskannya dengan santai.
“Masuk
kamar, sekarang! Umi, pergilah dengan Aisyah. Dia sudah menunggu Umi dimobil.
Syifa harus masuk. Dia harus beristirahat dan merapikan barangnya untuk ikut
pergi. Abi sudah siapkan paspornya tadi pagi.” Pernyataan Abi mengejutkanku,
tapi tidak dengan dua orang sahabatku ini. Mereka terlihat seakan tidak peduli
padaku lagi.
“Baiklah.
Syifa, kamu bereskan barangmu, nanti Umi bantu sepulangnya dari belanja.”
“Iya,
Umi. Assalamualaikum.”
Aku
pergi tanpa melanjutkan perkataanku untuk Yunus. Bahkan aku tak bisa menatap
Yusuf. Batinku tersiksa. Sakit sekali. Aku merindukan mereka berdua.
Sudah enam bulan aku meninggalkan pesantren. Kini, aku
tinggal di Mesir. Abi memintaku untuk kembali meneruskan pendidikanku, agar aku
tidak terpuruk akibat kejadian kala itu. Aku sangat berterima kasih kepada Abi
dan Umi yang telah memikirkanku sampai pada titik ini. Mereka adalah orang tua
bagiku. Mereka adalah malaikat nyata yang menggenggam tanganku. Disini, tidak
buruk. Aku baik – baik saja. Dan pendidikanku lancar. Alhamdulillah, aku juga
sudah tidak terjebak dalam masalah masa lalu ku. Besok, aku akan kembali ke
pesantren untuk menghadiri pernikahan Aisyah. Aku mengambil cuti untuk semester
ini. Karena tak mungkin izin begitu lama, jadi aku memutuskan untuk mengambil
cuti dan meneruskannya tahun depan di semester berikutnya.
Melegakan,
akhirnya aku bisa kembali dan berkumpul dengan orang – orang yang ku sayangi.
“Syifa!”
Seru Aisyah saat aku baru saja turun dari taxi di depan pesantren.
“Oh,
aku merindukanmu! Kamu pulang? Mengapa? Bagaimana kuliahmu? Kabarmu bagaimana? Baik?
Sepertinya tidak terlalu buruk.” Sambungnya.
“Ah,
beri aku kesempatan untuk menjawab.” Aku membalas pertanyaanya dengan candaan. Kami
berdua memang dekat. Aisyah lebih tua dariku 1 tahun. Tapi dia tak mau dipanggil
kakak. Dia anak kedua Abi dan Umi yang akan melangsungkan pernikahan bulan
depan. Aku datang memang untuk membantunya menyiapkan segala sesuatunya, dan
berada disampingnya untuk acara spesialnya.
Aku
belum bertemu Abi dan Umi, kabarnya mereka sedang diluar kota untuk perjalanan
bisnis. Namun, aku tlah menghubungi mereka bahwa aku tlah sampai di pesantren
dengan selamat. Jadi mereka tak perlu mengkhawatirkan aku.
Sore
hari, aku kembali mengunjungi taman dibelakang masjid. Masih sama. Semuanya masih
tampak sama. Sejuk, tenang, dan indah.
15
menit aku duduk dibangku taman, aku merindukan mereka. Andai hari bisa diputar,
aku ingin kembali dihari dimana aku dan mereka belum betengkar, aku ingin
memperbaikinya. Mungkin, sudah terlalu lama dan terlambat. Kini, aku hanya
perlu melanjutkan hidupku dan berdoa agar mereka hidup bahagia juga.
Aku
hendak beranjak dari taman, aku berbalik, dan aku menemukannya.
Dia
berdiri dan memandangi ku dari ujung jalan menuju taman. Tidak jauh, bahkan aku
bisa melihat tatapan hangatnya yang sudah ku rindukan. Ingin aku menapanya
dengan riang seperti dulu, ada banyak cerita yang ingin aku sampaikan padanya,
keluh kesah seperti dulu, tapi sepertinya aku tak bisa lagi. Aku tersenyum,
memberi salam dan menunduk. Tanganku gemetar. Hatiku bimbang, antara bahagia
dan sedih. Aku bahagia, aku bisa bertemu dengannya lagi. Tapi aku juga sedih,
karena kenyataannya sudah berbeda. Aku menahan air mata.
Namun,
aku mendengar suara hentakan kaki orang berlari.
Ya.
Dia berlari menghampiriku. Dia memelukku tanpa sepatah katapun terucap. Dia mengeratkan
dekapannya. Mengelus kepalaku dibalik jilbabku.
Aku
terkejut. Entah aku ingin melepaskan pelukannya atau ingin memeluknya juga.
“Lepaskan
aku. Ini pesantren. Dan kita bukan muhrim.” Pintaku sembari mendorong dada
bidangnya yang melekat padaku. Tapi dia tidak menjawabku dan menahan
doronganku.
“Tolong.
Ini sudah diluar batas.”
Akhirnya,
dia melepaskan pelukannya. Tatapan matanya berubah menjadi tajam. Dia menatapku
intens. Tangannya mencengkram kedua lenganku dengan kuat.
“Sakit.
Tolong, lepaskan aku.”
“Kamu
pikir aku akan melepaskanmu begitu saja? Lagi? Kamu akan pergi lagi? Kemana kamu
pergi?” Ini pertama kalinya Yunus berkata dengan nada tinggi. Oh bukan, bahkan
dia membentakku.
“Kamu
tahu betapa lelahnya aku menunggumu? Kamu tidak tahu bagaimana sakitnya menahan
rindu pada seseorang yang kamu cintai! Yang lebih menyedihkan lagi, aku bahkan
tak tahu apa dia akan kembali atau tidak, kemana dia pergi, mengapa, dan apa
dia merindukanku juga? Aku hampir menyerah!” Sambungnya yang masih berteriak
didepanku.
Aku
tak tahu kapan air mataku mengalir. Kini, aku tak dapat menahan air mataku
lebih lama lagi.
“Aku
tahu.”
“Apa
yang kamu tahu? Bahkan berpikir untuk memberiku kabar saja tidak ada, bukan?”
“Aku
minta maaf, aku tak bisa memberikanmu kabar.”
“Sayang,
aku bukan sedang memintamu memohon maaf padaku.”
Panggilannya?
Aku terkejut. Aku membuka mataku ketika mendengarnya. Aku tahu, Yunus. Aku masih
ingat dia pernah mengatakan ingin menikahiku. Tapi aku tak tahu, bahwa sampai
detik ini dia masih sama. Hatinya masih tertuju padaku. Aku tak menyangka akan
sampai sejauh ini. Aku tak tahu bagaimana hatiku. Aku tak bisa mengontrol
hatiku. Yang aku tahu, hatiku takut.
“Aku
minta maaf, membuatmu marah. Tapi aku juga tak mampu menentang Abi. Dia memintaku
mengambil kuliah dan menetap di pesantren temannya di Mesir. Sekarang aku
mengambil cuti. Aku ingin mendampingi Aisyah sampai hari pernikahannya. Dan aku
akan kembali kesana setelah urusan Aisyah selesai. Kamu tak perlu
mengkhawatirkan aku. Aku baik – baik saja. Jika kamu memang lelah menungguku,
aku minta maaf, jangan menungguku.” Jelasku dan melangkah mundur 1 langkah
darinya. Dan beranjak pergi.
“Yusuf.
Yang akan menikah dengan Aisyah adalah Yusuf.” Belum jauh, Yunus kembali
bicara.
“Aku
tahu.”
Aku
memang tahu bahwa Aisyah akan dinikahi Yusuf. Namun, itu tak mempengaruhiku. Dulu,
aku memang sempat menaruh hatiku untuknya, aku menilai dia pria yang pantas
untuk dimiliki. Dan jika memang sekarang dia dengan Aisyah, aku sangat
berterima kasih dan bersyukur. Aisyah mendapatkan suami yang tepat.
Malam
ini, ada pertemuan antara keluarga Yusuf dengan Abi dan Umi. Aku sengaja
memilih duduk melihat langit di bangku taman. Aku tak ingin mengganggu mereka. Aku
tlah bertemu dengan Yusuf. Dia masih sama, ramah. Ku kira, amarahnya saat
konflik itu sudah ia lupakan.
Belum
lama aku disini, aku mendengar suara sseorang datang.
“Duduk.
Jangan menghindariku terus.” Yusuf kembali. Sepertinya amarahnya sudah mereda.
“Sudah
tenang?” Tanyaku.
“Huh?”
“Tadi
amarahmu meledak. Sekarang bagaimana? Sudah tenang?”
“Aku
marah karena aku mengkhawatirkanmu.”
“Aku
baik. Semuanya lancar. Buktinya aku sekarang disini. Dan kamu bisa lihat, aku
masih sama. Aku tak luka atau apapun.”
“Aku
tahu kabarmu baik. Hatimu?”
“Huh?”
kini, giliranku yang tak mengerti arah pembicaraannya.
“Bagaimana
hatimu?”
“Dari
awal hingga saat ini, pemilik hatiku masih sama. Tidak berubah.” Jawabku sambil
tersenyum.
“Siapa?
Kapan dia mengambil hatimu dariku?”
Pertanyaan
Yusuf selalu membuatku tak tahu ingin menjawab apa. Bahkan untuk memikirkannya
saja aku bingung apa yang sebenarnya ingin dia tegaskan.
“Mengambil
darimu?”
“Ya.
Siapa laki – laki yang berani mengambil hatimu saat aku tak ada disampingmu?”
“Dari
awal hingga saat ini, Allah pemilik hatiku. Sejak kapan hatiku milikmu? Mengapa
kamu memakai kata ‘mengambil hatimu dariku’?”
“Harus
berapa kali aku katakan? Aku mencintaimu. Bahkan aku sudah mengatakan bahwa aku
akan menikahimu, tapi kamu malah pergi tanpa memberitahuku. Aku menunggumu
setiap hari. Aku berharap kamu kembali dan tidak mengkhianatiku. Aku merindukanmu.
Bahkan sampai detik ini. Apa masih kurang jelas perkataanku?”
“Aku
hanya takut. Aku tak berani. Aku takut, ketika aku memilih hatimu, kamu akan
mudah berpaling dan meninggalkanku. Janji manusia selalu ingkar. Memang awalnya
meyakinkan dan membahagiakan, tapi selalu berakhir menyakitkan. Yang aku tahu,
hati manusia selalu berubah. Aku takut kamu berubah. Aku lebih memilih diam. Aku
takut kamu juga tak mau menerimaku apa adanya, apalagi setelah kejadian waktu
itu.” Jelasku.
“Aku
mencintaimu. Dan akan selalu begitu.”
Obrolan
malam itu berlanjut. Semakin merajuk pada keseriusan Yunus padaku. Tapi dia
tetap memberikanku ruang, tidak memaksaku, tapi dia juga tidak melepaskanku.
Kemanapun
aku pergi, apa yang aku lakukan, dia selalu melihatku dari kejauhan. Terkadang,
dia membantuku.
Saatnya
tiba. Pernikahan Aisyah dan Yunus dilangsungkan.
Dan
pada saat itu juga, Yusuf hadir dengan keluarganya dan melamarku.
Abi
dan Umi terlihat bahagia. Begitupun aku. Bagaimana tidak? Allah telah
melabuhkan hatiku pada hati yang tepat. Kekhawatiranku akan hatinya yang akan
berpaling tidaklah menjadi nyata. Yusuf tak berubah. Dia memegang janjinya. Dia
merangkul hatiku tanpa melihat kekuranganku. Dia menjaga rindu ketika aku tiada
dalam pandangannya, hingga akhirnya dia benar – benar melangkah mendekat padaku
tanpa ada keraguan.
Terima
kasih, Allah.
**
Alhamdulillah, akhirnya cerpen ini selesai!
Mungkin readers udah pernah baca ya bagian awal,
awalnya memang cerita ini aku mau dibagi dua bagian. Bagian pertama judul cerpennya 'cinta'
tapi berubah pikiran >_< (maklum labil mode on)
Ini anggap aja full version. O_O
tapi bener full kok. Udah ending! hihi
Selamat membaca~
Komentar
Posting Komentar