Langsung ke konten utama

Raja Merpati


Semula ku pikir semuanya baik, tapi ternyata semuanya semakin mengejar dan menuntutku untuk segera hilang dari kisah ini. Yang ku pikir tidak akan pernah mentari meredup, namun sekarang ia meredup, cahaya yang terang itu diambil alih oleh awan hitam.
Bukan tak mungkin merpati akan mendua, saat mereka terpisah, terbang mengelilingi dunia mencari jati diri yang sesungguhnya. Meninggalkan tempat dimana mereka saling menatap dan memeluk kenyamanan bersama.
Tuhan, aku tak bisa berhenti merindu, meski aku sadar betapa sakit dan begitu tersiksanya batinku saat merindu.
Waktu ini seakan lebih lambat saat aku melamunkannya. Tapi waktu berputar secepat kilat menyambar, ketika aku melihatnya tersenyum dihadapanku.
Mungkin aku seharusnya tidak usah merindukan sesuatu yang menyakitkan. Tapi hati selalu terasa berat, enggan untuk meninggalkan bayang - bayang kisah manis bersamanya.
Hingga saat ini, aku masih setia. Terdiam, menunggu waktu berhenti, menunggu saat dimana aku bisa berlari ke belakang memutar semua kejadian dan membawanya pergi ke tempat dimana tak akan ada yang bisa melepaskan genggamanku padanya.
Aku ingin kembali,
Aku ingin mendapatkan sumber kebahagiaanku, lagi.
"Apa semuanya baik, Ca?" Tio menepuk pundakku.
Tio adalah teman kelasku, dia menyukaiku. 
"Menurutmu?" Jawabku, tanpa menoleh ke arah wajahnya yang berada tepat disamping kananku.
"Aku perhatikan, kamu melamun terus. Aku khawatir......"
"Tio, cukup." Aku menghentikan kalimat Tio yang belum sempurna terucap.
"Aku harus berapa kali bilang, kalau aku gak mau kamu perhatikan. Aku gak mau kamu berharap pada kepalsuan. Aku gak suka sama kamu. Dan mungkin aku gak akan pernah berfikir untuk suka pada orang lain selain Evan. Jelas?"
"Eca, kamu yang harusnya berhenti berharap pada kepalsuan. Evan hanya ada dalam masa lalu. Dia gak akan pernah kembali. Kamu harusnya membuka hati untuk orang lain. Membuka kesempatan untuk orang lain menjabat sebagai raja dihati kamu. Bukan malah melamunkan raja yang telah lengser!"
"Dia gak pernah turun jabatan. Aku gak pernah menurunkannya dan gak akan pernah! Dia berjanji akan kembali. Dia cuma pergi sebentar."
"Eca, hampir 4 tahun Evan pergi. Ninggalin kamu. Kamu pikir 4 tahun itu sebentar? Terus, waktu yang lama itu berapa puluh tahun?"
"Berhenti mencampuri urusan orang!"
Tio mungkin benar, 4 tahun aku menunggu. Bukan waktu yang sebentar. Bahkan Evan mencoba menghubungiku saja tidak. Dia pergi begitu saja. Dia turun dari jabatannya tanpa sang ratu tahu. Tapi aku juga gak bisa menbohongi hatiku sendiri. Aku masih mengharapkannya. Aku selalu menyelipkannya diantara doa doaku. Aku masih mencintai Evan.
Barisan lagu romantis yang pernah Evan nyanyikan, selalu ku putar dan tak pernah aku memutar lagu selain lagu yang Evan nyanyikan.
Tuhan, tolong beritahu dia, sungguh aku tak akan sanggup menopang rindu sendirian tanpa kepastian. Beritahu dia, aku menunggunya kembali. Aku menunggu raja itu bertahta kembali dihatiku. Bahkan, saat ia jauhpun, ia masih menguasai relung hatiku seutuhnya tanpa pernah memudar.
"Ca, ada temanmu menunggu diruang tamu."
"Siapa, mah?"
"Temui saja. Jangan mengurung dirimu terus dikamar. Kamu mau melihat mamah kebingungan? Dengan berprilaku seolah kamu enggan hidup lebih baik." Kata mamah, sembari berjalan keluar dari kamarku.
"Ca?" Sapa Tio, dengan ketenangan. Tio selalu begitu, ia tak pernah menyimpan kesal terhadapku meski aku kerap kali mematahkan hatinya.
"Aku bosan. Mau keluar?" Ajakku.
"Boleh, kamu mau kemana?"
"Kemana saja."
Mamah, adalah satu - satunya yang paling penting dihidupku. Setelah papah pergi bekerja jauh dan tak pernah kembali lagi. Aku tak mungkin, tega melihat mamah sedih.
Aku pergi bersama Tio, untuk menunjukkan pada mamah kalau aku tak ingin menatap mata sedihnya. Yang aku ingin tatap hanyalah wajah penuh bahagia.
"Ca, thanks ya." Ucap Tio,
Aku hanya mengangguk, bertanda aku meng-iya-kan ucapan terima kasihnya.
"Ca, Tio baik ya? Gimana kemarin jalannya?" Tanya mamah begitu penasaran.
"Biasa saja."
"Kamu suka gak sama Tio?"
"Engga, mah."
"Kenapa? Dia baik, ganteng, pintar, sopan, dia kelihatannya suka sama kamu gak main - main kok, Ca."
"Mah, kalau yang sedang mamah pikirkan adalah menjodohkanku dengan Tio, sebaiknya lupakan. Aku gak akan pernah mau." Aku meninggalkan mamah sendiri dikamar. Aku menghindari mamah. Karena aku tahu, akhir pembicaraan ini bagaimana.
Aku biarkan mamah melihat - melihat isi kamarku. Isi yang tak pernah luput tentang Evan. Foto, pernak - pernik dan segalanya yang aku pajang dikamar semuanya tentang Evan. Aku ingin mamah tahu, bahwa Evan satu - satunya yang aku inginkan. Tak pernah melintas dipikiranku untuk menyukai Tio.
"Mah," Aku memegang pundaknya dengan lembut, air mata yang tak terbendung menghiasi wajahku. 
"Jangan menoleh, mah. Aku cuma ingin mamah tahu, Evan yang mampu membuat hatiku merindu sampai seperti ini. Dan akan terus merindu hingga ia kembali menghentikan rindu itu. Tio cuma teman sekelasku mah."
Tanganku dihempaskan, mamah merusak semua foto dan pajangan dimejaku. Merobek semua tentang Evan.
Semuanya berantakan, mamah merusak semua tanpa ada satu katapun yang terucap.
Kemeja hitam, celana bahan berwarna cokelat muda, wajah berseri. Hanya foto itu yang tersisa saat ini. Foto Evan yang dirobek dan aku lem kembali agar menyatu.
Aku menangisinya semalam suntuk, kantung mata terbentuk begitu saja, mata memerah, lembab. Suasana hatiku benar - benar hancur saat ini.
Aku memegang erat foto Evan, dengan penuh rasa kecewa sekaligus rindu.
Kenapa?
Kenapa begitu sulit untukku mendapatkan kebahagiaan? Bahkan sumber kebahagiaanku kini hanya ada didalam foto. Bukan nyata!
Kenapa tak ada seorangpun yang mendukungku saat aku terpuruk merindu orang yang sangat aku cintai?
Mengapa semuanya seakan menyuruhku hilang dalam kisah cintaku sendiri bersama pangeranku?
bahkan, mamahku sendiri tidak pernah mendukung apa yang menjadi sumber kebahagiaan dan semangat hidupku.
Ia malah memikirkan Tio. Tio yang selalu mengganggu hidupku! Ia telah membuat Evan pergi. Saat Evan datang menemuiku, Tio datang membawakan aku bucket bunga mawar dan menyatakan perasaannya dihadapan aku dan Evan.
Evan pergi, tak kembali hingga saat ini. Tak pernah ada kabar tentang Evan.
"Tio adalah penyebab Evan pergi!"
"Eca, stop menyebut dan memikirkan Evan!"
"Kenapa? Apa mamah tahu, apa yang menjadi sumber semangatku? Mamah bahkan gak tahu apa yang melandaku bertahun - tahun!"
"Eca, maka dari itu. Kamu tersiksa bertahun - tahun hanya karena seorang lelaki yang pergi begitu saja. Tio gak salah. Dia hanya mengungkapkan perasaannya. Kenapa Evan malah pergi? Bukankah itu hak bagi lelaki untuk mencintai seorang gadis?"
Aku tak menjawab apapun lagi. Aku pergi dari rumah dengan mambawa foto Evan.
Namun, ditaman aku melihat Evan. Aku memandangnya dari jauh.
Dia masih sama seperti dulu. Manis, dingin.
"Itu Evan, Ca." Kata Tio mendekatiku.
"Pergi."
"Kamu ingin tahu Evan? Tetap berdiri disini dan saksikan."
Tio pergi meninggalkanku dengan pemandangan yang membuat mata lembabku menjadi sedikit segar. 15 menit aku memandangnya. Aku tak percaya. Orang yang aku rindukan selama 4 tahun, kini ia ada dihadapanku lagi. Ia tersenyum, dan sangat ramah pada anak kecil. Rajaku telah kembali. Raja yang ku rindukan dan selalu aku sebut dalam sujudku, kini ia tampak dewasa, dan semakin aku kagumi.
Tapi, air mataku mulai membasahi pipiku.
Hatiku hancur, patah, dan mungkin tak ada obat untuk menyembuhkannya.
Evan memeluk seorang perempuan, dan memanggilnya dengan sebutan "Sayang" .
Aku memberanikan diri untuk menemui mereka.
"Evan," Sapaku,
"E.. eca?" Jawabnya terbata - bata.
"Siapa dia?"
"Eca, adik kecilku! Kenalkan, ini pacarku dan ini keponakannya. Aku pulang dari Amerika kemarin, dan bertemu lagi dengan pacar dan adikku Eca. Wah aku bahagia." Paparnya yang seketika mematahkan hatiku.
"Adik kecil?"
"Iya. Oh iya Ca, maaf ya aku dulu pergi tanpa pamit. Sebenarnya, aku mau pamit dulu, tapi aku melihat kamu dan Tio sedang bahagia saat itu. Aku tak ingin menghancurkan kebahagiaan kalian dengan bilang, kalau aku akan pergi ke Amerika selama 4 tahun untuk melanjutkan sekolah disana. Jadi, aku mengambil keputusan untuk pergi diam - diam. Aku tahu, adik aku Eca ini pasti akan sedih, jika Evan abangnya ini pergi. Hehe"
Tuhan, kenapa terjadi seperti ini padaku?
Aku yang menobatkannya menjadi raja, memberikan kekuasaan sepenuhnya pada raja. Ternyata seperti ini?
Kenapa? Kenapa rinduku dibalas dengan goresan luka yang cukup dalam?
Kenapa luka ini terasa begitu pedih ditambah dengan rindu yang sudah semakin memuncak?
Tanganku gemetar, air mataku menetes tiada henti, dibawah mentari yang tersenyum lebar aku malah menjadi awan hitam disamping mentari itu sendiri.
Petir yang menyambar hatiku seakan melululantakan kerinduan yang sudah tertanam bertahun - tahun.
Bodoh. Rindu dan rasa sayang yang ku simpan untuk sang raja merpati yang terbang jauh ternyata hanyalah rasa separuh.
Aku pergi, lari meninggalkan foto bertuliskan "I love you, raja merpatiku." itu dihadapan Evan.
"Ca? Kamu kenapa?"
Mungkin saat kamu membaca tulisan dibalik foto itu, Eca yang sangat mencintaimu dan selalu menahan sakitnya merindu telah benar - benar hilang di kisah kita.
Menghilang, ditelan rindu.


Karya : Delvi Sulistin Monawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seharusnya Tidak Seperti Ini

Aku tidak berbohong, Ketika aku mengatakan tertarik padamu. Aku tidak menyangkal, Bahwa aku memikirkanmu. Tapi setelah terpikirkan kembali, Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Hati dapat terbolak balik. Ketika matahari terbenam, Rinduku tidak ikut membenamkan diri. Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Rasa ini terkadang berubah. Aku tidak lari. Aku tidak bersembunyi. Tapi apa yang terjadi? Saat Allah berkata jangan, Aku takkan melakukan. Aku berjaga. Aku turut diam. Bahkan ketika kamu menjauhkan diri, Meski rinduku menusuk hati, Aku tidak menuntutmu untuk berbalik. Aku tidak menyerah. Aku hanya pasrah karena Allah. Karena Allah tahu. Karena Allah sudah putuskan. Seharusnya tidak seperti ini. Dari awal angin berhembus menerbangkan dedaunan kering itu, Seharusnya aku tahu, Hatiku milikNya. Dan aku tidak pergi kearah kemana hatiku tidak mengarahkannya. Kini, tinggalah hatiku sendiri. Dan kamu, juga telah tertutup embun