Langsung ke konten utama

True Love [Part 1]


*kriiiiiiing*
Setiap pagi, kamar Deara selalu berisik dengan suara jam bekernya. Namun, Deara tak pernah mau terbangun dari dunia mimpinya. Ia tak pernah menghiraukan suara berisik jam bekernya yang menyala setiap pukul 05.30 WIB.
Kamar Deara yang berantakan, buku yang entah setiap sudut selalu ada, kaset-kaset playstation yang tak pernah ia rapikan kembali.
"Deara! Bangun! Deara!". Dio sang kakak yang selalu setia membangunkan dan memarahi Deara setiap pagi. Ya. Hampir setiap pagi Dio selalu terbangun dengan terkejut karena suara jam beker Deara yang begitu keras, sampai kamar Dio yang paling ujung dari kamar Deara saja terdengar. Dio yang sudah mengatur jam bekernya Deara dengan volume 100% atau full. Yang bertujuan agar sang adik bisa terbangun dengan cepat tanpa harus ia dobrak pintu kamarnya. Tapi, upaya itupun tak juga membuahkan hasil. Deara tetap tertidur pulas layaknya puteri tidur dari negeri dongeng, yang enggan membuka mata sebelum dicium oleh pangerannya.
"Hey! Matikan jam bekermu! Jam bekermu mampu membangunkan seluruh warga Indonesia bahkan Korea, Deara! Dearaaaa!". Lanjut Dio dengan bentakan dan tangannya menghentak pintu hingga terdengar ke luar rumah. Papanya yang sedang asyik jogging dihalaman rumahnya juga mendengar tapi ia tak merespon, karena setiap pagi memang suasananya begitu. Tak ada yang berubah dan sudah menjadi terbiasa. Bahkan mungkin tradisi.
"Kak! Berisik! Apa kamu tak punya kerjaan lain selain menggangguku? Hah?". Deara keluar dan memarahi kakaknya tanpa mau tau apa salahnya.
"Hey! Kamu lihat jam dikamarmu! Apa kau sudah bosan menyekolahkan otakmu? Ingin beralih alam menjadi negeri dongeng dan kau menjadi puteri tidur? Hah? Dasar anak kecil!"
Dio dan Deara mempunyai tempramen yang sama. Sama - sama cepat kena emosi, sama - sama tak mau kalah. Sifat yang sama, bahkan raut wajahpun hampir mirip. Dan sering disebut kembar. Tapi mereka tak ingin disebut kembar.
"Hari ini aku akan pulang telat. Kamu pulang sendiri!". Jelas Dio pada Deara saat mereka sarapan sebelum berangkat.
"Memang, kak Dio mau kemana? Aku ikut!". Rengek Deara sambil memakan sarapannya.
"Tidak boleh!"
"Ah.. Ayolah kak!"
"Aku akan kencan dengan pacarku! Kau tidak boleh membuntutiku terus!"
"Aku gak mau tau! Pokoknya aku ikut!"
Dio dengan kesal meninggalkan sarapannya yang tinggal sedikit, meminta izin untuk berangkat sekolah pada papa mamanya dan segera bergegas menuju parkiran rumahnya dan menyalakan motor gede merahnya.
"Kak! Tunggu! Mah pah aku berangkat ya! Assalamu'alaikum!". Seru Deara sambil meminum susunya terburu - buru dan menghampiri kakaknya.
"Hati - hati ya! Waalaikumsalam!". Jawab mamanya.
Mama dan papanya hanya tersenyum hangat melihat kelakuan kedua anaknya.
Saat Deara hampir sampai parkiran, Dio malah berniat meninggalkan adiknya. Dia mengerjai adiknya, menyuruhnya membukakan gerbang, menutup gerbang, dan saat Deara hampir duduk dijok motor, Dio tiba - tiba menggas kencang motornya.
*Brukk!!!*
Deara terjatuh dan pingsan dipinggir jalan. Dengan kening berdarah, dan luka ditangan serta kakinya yang terkena kerikil yang berceceran ditepi jalan itu.
Dio tak menyadari akan menyebabkan Deara terjatuh dan terluka. Diujung jalan, Dio tertawa kencang dan menoleh ke arah Deara.
"Deara?". Dio yang mengetahui adiknya jatuh dan terluka memutar balik sepeda motornya, sedangkan papa mamanya dengan kilat merangkul Deara dengan penuh kekhawatiran.
Tiba disekolah, Dio tak pernah tersenyum. Bahkan gairahpun tak muncul. Pikirannya terpaku pada Deara. Yang biasanya selalu ada disisinya, dan membuatnya kesal, kini disampingnya tak ada yang membuatnya kesal lagi. Ia merindukan Deara. Dan merasa bersalah telah melukai Deara.
"Kemabaranmu mana?" Tanya Via, pacarnya Dio.
"Deara yang kau maksud?"
"Iya. Adik yang merepotkanmu setiap waktu itu kemana? Tak masuk? Wah! Jadi hari ini kita kencan bebas dari Deara ya sayang? Oh my God! Ini hot news! Good news! Haha." Via dengan penuh kegembiraan, secara tak langsung ia senang dengan ketiadaan Deara disisi Dio.
Dio hanya tersenyum singkat. Dan berlalu.
Tak ada secercah kebahagiaan. Dio terus menatap foto di handphonenya. Ya, foto dirinya bersama Deara.
"Aku merindukanmu. Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu terluka. Aku mencintaimu, Deara." Gumam Dio.
"Diy," --sapaan sayang Via pada Dio-- Via mengalungkan tangannya dileher Dio dari belakang.
"Kenapa?" Jawab Dio datar dan melepaskan tangan Via.
"Diy~ harusnya kamu bahagia dong! Deara sudah tak mengganggumu! Dia tak ada! Itu artinya kita bebas. Tanpa ada satpam." Ucap Via yang tak digubris oleh Dio. Dio hanya diam dan termenung.
Dio dan Deara satu angkatan, tapi beda kelas. Umur mereka sama. Beda beberapa bulan saja.
Bel pulang berbunyi. Via langsung menggaet Dio dan pergi berkencan. Kesana kemari dengan penuh ceria, namun Dio? Sama sekali tak pernah tersneyum. Dia masih memikirkan Deara.
"Aku harus kerumah sakit." Ucap Dio dan segera mengendarai motornya.
"Lalu aku?"
"Kau pulang saja sendiri. Akan ku kabari nanti."
Dio tak memperdulikan Via. Yang awalnya Dio selalu memuji Via didepan siapapun, membanggakan pacarnya. Dan mengutamakan pacarnya, tiba - tiba ia mengacuhkan Via begitu saja dan memusatkan pikirannya pada Deara.
Diperjalanan, Dio mampir ke toko bunga dan boneka untuk membawakan Deara hadiah. Yang ia harapkan, Deara dapat memaafkan kesalahannya dan berada disisinya lagi.
Sesampainya dirumah, ia langsung bertemu dengan mama papanya yang sedang duduk diruang keluarga.
"Mah, pah. Deara?"
"Ada dikamarnya. Dia sudah tidak apa - apa.. Kamu jangan terlalu khawatir." Jawab papanya lembut sambil mengelus kepala Dio.
"Tapi ini kesalahan Dio." Dio menunduk dan menitihkan air mata untuk sang Deara.
"Bagus. Kamu berani mengakui kesalahanmu. Itu baru lelaki! Deara menunggumu dari tadi dikamarnya." Sambung mamanya tersenyum.
Deara dan Dio bukanlah adik kakak sekandung. Dio adalah anak dari kerabat dekat papanya Deara. Seorang pengusaha batu bara terbesar di Indonesia. Dio adalah pewaris tunggal semua kekayaan orang tuanya. Karena Dio adalah anak satu - satunya. Dio tinggal bersama keluarga Deara sejak bayi. Karena orang tua Dio selalu bolak - balik keluar negeri dan ia tak percaya dengan baby sitter, yang akhirnya menitipkan Dio saat mamanya Deara mengandung Deara dan hendak melahirkan. Dio diterima dengan baik. Sampai ia dewasa. Ayah kandung Dio selalu mengirimkan uang untuk keperluan hiduo Dio. Dan akan mengambil Dio nanti, saat ia membutuhkan Dio untuk menggantikannya memimpin perusahaan dan meneruskannya.
*grek*
Dio membuka pintu kamar Deara perlahan, kini ia masuk ke kamar Deara dengan penuh kelembutan. Tak ada teriakkan seperti biasanya. Hening. Mereka hanya saling menatap. Beberapa menit, tak ada percakapan diantara mereka. Hingga akhirnya Deara menangis dihadapan Dio.
"Kakak kenapa baru pulang? Bukankah aku sudah bilang, aku ingin ikut!" Rintihnya.
"Kenapa kau mempertanyakan hal yang tak masuk akal? Itu tak penting! Yang terpenting saat ini adalah kondisimu!"
Deara tak menjawab. Ia melanjutkan menangis dan menunduk sambil duduk diatas ranjangnya.
"Hey.. Jangan menangis! Cukup. Maafkan aku. Aku membuatmu terluka." Ujar Dio, mengusap air mata Deara dna memeluknya hangat.
"Kau bohong. Katanya kamu menyayangiku. Tapi kamu menyingkirkanku."
"Aku tak bermaksud seperti itu."
"Lalu? Bukankah kau tak ingin aku buntuti terus? Risih dengan kehadiranku?"
"Awalnya aku memang merasa aku tak ingin kau buntuti terus. Tapi sungguh, hari ini aku mencemaskanmu melebihi apapun. Aku merindukanmu."
"Sudahlah. Kau keluar saja. Aku tak ingin kau ganggu."
"Tapi aku ingin merawatmu Dei. Ayolah! Jangan marah padaku. Aku minta maaf." Dio meraih dan menggenggam tangan Deara lembut. Memohon padanya agar dimaafkan.
"Tunggu. Aku punya sesuatu untukmu."
Dio memberikan bunga dan boneka pada Deara yang ia beli tadi sebelum pulang.
Deara tersenyum. Dan memeluk Dio, saat Dio beranjak.
"Aku me..."
Belum selesai Deara bicara, Dio memotong.
"Merindukan ku juga? Ah! Kau ini!" Dio dan Deara akhirnya berbaikkan dan pergi jalan bersama sore ini.
"Kalian mau kemana?" Tanya mamanya dengan senyuman melihat Dio dan Deara sudah berbaikkan.
"Aku dan Deara akan kencan sore ini!"
"hah?" Deara terkejut.
"Benar kan?" Dio menggoda Deara dengan kedipan genit mata sipitnya.
"Ya sudah. Hati - hati. Jaga gadismu!" Seru papanya.
Dio dan deara yang sempat tercengang mendengar kata 'gadismu' seakan ada arti lain selain 'adik'. Karena Deara dan Dio tak pernah tahu, mereka sekandung atau bukan.
Mereka hanya mempunyai rasa kasih, tapi diartikan sebagai adik kakak.
Dengan sepeda baru mereka, yang sebenarnya dibelikan ibundanya Dio, mereka pergi dengan penuh tawa.
Ditengah perjalanan, Dio melihat Via bermesraan dengan lelaki lain. Napasnya memburu. Penuh amarah. Ia menghentikan sepedanya. Dan menarik Deara menuju Via dan lelaki selingkuhannya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Tanpa basa - basi Dio langsung berkata ketus pada mereka. Setelah berdebat hebat ditaman, Dio memutuskan hubungannya dengan Via dan kembali pergi bersama Deara ke danau.
Ditepi danau, Dio sama sekali tak menunjukkan rasa sedih yang baru saja memergokki pacarnya selingkuh. Dio malah tertawa lepas bersama Deara.
Mereka bercanda seolah - olah tak ada keraguan untuk tertawa saat ini.
"Apa kau senang?" Tanya Deara dengan menatap dalam Dio.
"Tentu."
"Kenapa? Bukankah wanita yang paling kau cintai baru saja menghianatimu?"
"Tidak. Dia selalu ada untukku."
Deara tidak melanjutkan lagi percakapan mereka, beralih mengambil sepeda Dio dan mengajaknya pulang.
Sepulangnya mereka, mereka masuk dengan candaan dan genggaman tangan yang erat.
Tidak disangka, ayah dan ibundanya Dio datang menjenguk Dio. Dio yang tidak mengetahui siapa dan apa maksudnya dia malah kebingungan melihat mereka.
"Ma, pa. Ada tamu?"
"Dio, sini duduk sama bunda.." Seru ibunda Dio,
"Bunda?" Deara heran, mendengarnya.
Lalu, perlahan mereka semua menceritakan bagaimana asal usul Deara dan Dio bisa bersama hingga saat ini, dan latar belakang yang menyebabkan Dio ada dikeluarga Deara.
"Jadi, Dio bukan kakak ku?" Deara menatap mama papanya. Masih dengan tatapan heran.
"Dia kekasih yang mama papa pilihkan untukmu." Orang tua Deara dan Dio hanya tersenyum penuh bahagia.
Akhirnya, saatnya sudah tiba. Saat dimana mereka harus bisa saling mencintai bukan sebagai adik kakak lagi.
Dio menarik Deara keluar rumah dengan kasar. Seakan lupa dengan luka yang belum sembuh benar.
"Ah! Sakit ka!" Jeritan Deara tak didengar oleh Dio.
"Apa kau setuju?"
"Kau menarikku. Memaksa aku mengikutimu dengan memegang keras luka yang kau buat tadi pagi. Dan saat sampai disini, kau hanya menanyakan 'setuju' atau 'tidak'?"
"Jawab aku Deara!"
Daera berlalu. Meninggalkan Dio seorang diri. Ia tau apa yang akan Dio pernyatakan lebih lanjut, jika ia tetap berada disana.
Dengan rasa sedikit kecewa karena diacuhkan, Dio mengikuti langkah Daera masuk rumah. Bahkan, sampai kamar.
Tepat sampai pintu, Deara lari dan membanting pintu kamarnya.
*bruk!!!*
"rggh!"
"Ah? Ka Dio?"
Deara kembali membuka pintu, tapi Dio sudah tak ada disana.
"Loh?"
"aaa~!" Deara teriak dengan kencang, saat melihat Dio berada diatas kasurnya.
"Kenapa sayang?" Tanya mama papanya Deara dan Dio.
"Kak? Kok bisa?"
"Kau membanting pintu kamarmu tepat didepan keningku! Dan kau membuka pintu dengan panik mencariku, aku masuk dan berbaring disini! Berapa nilai tata krama mu? Aku ini kakak mu!"
"Bukan!"
"Maksudmu?"
"Kau kekasihku sekarang!"
Ucapan Deara sontak membuat semuanya tercengang. Begitu cepatnya dia menerima Dio sebagai lelaki asing, melainkan bukan kakaknya lagi.
Melihat ekspresi konyol dari semua orang, Deara tertawa puas.
"Lucu, Deara?"
"Ini lebih lucu dari pada gelitikkanmu ka! Haha"
Dio menatap penuh kesal dan pergi menuju kamarnya tanpa mengucapkan apapun pada Deara.
Hans, Karin --Bunda dan Ayah Dio-- membangun rumah diujung jalan rumah mama papanya Deara. Dan esok hari, Dio juga harus pindah.
Seperti biasa, pagi hari rumah selalu berisik dengan alunan jam beker milik Deara.
Tapi kini agak berbeda, Dio tak lagi dengan semangat membangunkan Deara.
"Kak Dio!"
"Berhenti memanggilku 'kakak' aku bukan kakakmu. Mengerti?" Ucap Dio ketus pada Deara dan menaiki sepeda motornya, tapi tak juga berangkat.
Deara perlahan melangkahkan kakinya, dan tak pernah lepas menunduk. Ia berjalan menuju sekolah.
"Hey!" Dio terus memanggil Deara yang terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun.
Sampai disekolah, Deara sama sekali tak bermain dengan Dio. Meski Dio terus menghampiri, Deara seakan tak melihat Dio berlalulalang dihadapannya.
*drrrt* Deara membuka pesan masuk dihandphonenya,
"Kenapa? Kau marah?"
Deara tak membalasnya. Dan bergegas untuk pulang.
"Hey.. Cantik" Dio menyapa sambil mengelus kilas dagu Deara.
"Diam?" Lanjut Dio.
"Kamu bilang, kamu bukan kakak ku lagi. Berarti kamu juga bilang, jika kita memang bukanlah siapa-siapa."
"Jadi kau memutuskanku?"
"Putus?"
"Ya. Kita gak ada hubungan apa-apa lagi termasuk adik kakak."
"Jika itu maumu."
Deara menunduk menahan tangis. Berjalan teguh tanpa menoleh ke belakang lagi.
Sampai dirumah, Dio dan Deara makan siang bersama. Tak ada siapapun, hanya mereka. Dan tak ada suara apapun. Tanpa canda tawa ataupun obrolan.
Karena sibuk dengan urusan yang lain, Deara lupa dengan luka yang ada pada tangannya. Masih basah. Dan sesekali terasa sakit.
Erangan kecil Deara cukup bisa terdengar oleh Dio. Dio menoleh. Tapi tak ada satu katapun yang ia lontarkan. Hening. Hanya isak tangis samar Deara yang sedikit memenuhi ruangan.
"Kau tak apa?" Isi pesan Dio terhadap Deara saat itu.
Deara tetap tak membalasnya.
Dengan kesal Dio menumpahkan air minum diatas kepalanya. Hingga membuat Deara terkejut dan menjerit karena lukanya terasa pedih tersiram air mineral.
"Maaf. Gak sengaja."
"Umh.." Senyum bibir Deara yang lembut, membuat Dio terpaku dan merindukan kenangan bersama Deara yang tak pernah sampai musuhan seperti ini.
Deara menunduk dan menangis kecil. Segera melangkahkan kaki menuju kamarnya dengan tangan sebelahnya yang berusaha menutupi dan menahan darahnya agar tidak tumpah meluber.
"Berikan tanganmu."
"Tidak."
"Aku akan merawatmu. Duduk."
Dio bergegas mengambil kotak obat. Dan merawat luka Deara kembali.
"Maaf. Tadi aku sengaja menumpahkannya. Aku kesal. Kau tak meresponku. Dan satu - satunya cara agar kau berbicara, ya dengan itu."
"Tak usah dipikirkan. Sudah cukup. Lukaku sudah mendingan. Terima kasih."
Deara menarik tangannya. Dan berdiri hendak berjalan menuju kamarnya.
"Aku pindah."
Deara tak menjawab dan melangkahkan kakinya perlahan.
"Aku akan pindah sore ini. Aku ingin kau mengantarku." Lanjut Dio dengan penuh harap.
"Apa harus?" Deara menjawab dan tetap berjalan.
Suasana yang tak akrab ini membuat Dio merasa bersalah. Akan perkataannya pada Deara tadi pagi yang membuat Deara berubah seperti ini.
Tiba saatnya untuk Dio pindah. Namun, Deara tak kunjung keluar dari kamarnya. Dio terus menatap pintu kamar Deara.
"Ayo Dio." Ajak bundanya.
Dio mengangguk lemas. Dan berjalan mengikuti bundanya.
Tiba dirumah baru Dio, Deara ternyata sudah ada disana. Dia menata kamar baru Dio.
"Deara?"
"Hey ka Dio."
Berawal dari kepindahannya Dio itu, mereka berbaikan. Demi hubungan keluarga mereka agar tetap utuh.
Setelah mereka lulus SMA, keluarga Dio dan Deara mengadakan pertemuan. Dio dan Deara memilih untuk memisahkan diri dari keluarganya.
Mereka duduk berdua dibangku taman didepan restoran tempat kedua keluarga itu bertemu.
"Ini dinamakan takdir?" Tanya Deara polos.
"Mungkin, lebih tepatnya ini sudah suratan dari Yang Maha Kuasa untuk DD."
"DD?"
"Dio Deara." Dio tersenyum dan membuat Deara juga tertawa dengan lepas.
"Kau mau berjanji untuk tetap disisiku sebagai orang yang aku sayang?" Tanya Dio dengan ketulusan yang hatinya pancarkan melalui matanya.
"Aku akan pergi darimu."
"Apa kau bilang?"
"Aku akan pergi darimu. Dan kembali nanti. Dihari yang akan ku beri judul penyatuan cinta DD." Deara tersenyum dan menatap bintang.
"Alay memang!"
"Kau tak mau?"
"Umh. Oke, aku akan menjadi orang yang sukses untuk membahagiakanmu. Dan kembali kehadapanmu mengikatmu agar kau menjadi teman hidupku."
"Janji?"
Dio dan Deara akhirnya menetapkan hati mereka untuk menuruti apa yang menjadi keinginan keluarganya. Karena dihati mereka, memang tersimpan cinta yang bukan sebagai adik dan kakak. Dengan janji suci yang diungkapkan, mereka akan kembali bertemu disuatu hari nanti. Hari dimana mereka disahkan sebagai muhrim.

Setelah hari itu, mereka melangkah bersama cita - cita masing - masing. Berkomunikasi hanya melalui hp. Dan bertemu sesekali jika memang waktu mengizinkan dan saling melepas rindu.

Karya : Delvi Sulistin Monawati

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seharusnya Tidak Seperti Ini

Aku tidak berbohong, Ketika aku mengatakan tertarik padamu. Aku tidak menyangkal, Bahwa aku memikirkanmu. Tapi setelah terpikirkan kembali, Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Hati dapat terbolak balik. Ketika matahari terbenam, Rinduku tidak ikut membenamkan diri. Seharusnya tidak seperti ini. Sebagaimana mestinya, Rasa ini terkadang berubah. Aku tidak lari. Aku tidak bersembunyi. Tapi apa yang terjadi? Saat Allah berkata jangan, Aku takkan melakukan. Aku berjaga. Aku turut diam. Bahkan ketika kamu menjauhkan diri, Meski rinduku menusuk hati, Aku tidak menuntutmu untuk berbalik. Aku tidak menyerah. Aku hanya pasrah karena Allah. Karena Allah tahu. Karena Allah sudah putuskan. Seharusnya tidak seperti ini. Dari awal angin berhembus menerbangkan dedaunan kering itu, Seharusnya aku tahu, Hatiku milikNya. Dan aku tidak pergi kearah kemana hatiku tidak mengarahkannya. Kini, tinggalah hatiku sendiri. Dan kamu, juga telah tertutup embun